“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 3
Oleh: Nata Warga

21. “Ana Catur Mungkur”

Artinya: Membicarakan hal negatif orang lain.

Dalam interaksi dengan orang lain, siapa yang tidak mau menjaga nama baik mereka, semua orang selalu senantiasa menjaga nama baiknya dalam pembawaan diri. Pengakuan atas diri sebagai identitas yang unik adalah bagian dari keberadaan diri.
Untuk itulah setiap orang harus berprestasi dalam bidang mereka masing-masing agar secara mutlak keberadaan diri dapat berfungsi secara maximal.

Nah.. Masalahnya lain adalah banyak sekali orang yang ingin diakui keberadaannya dengan cara menjelekan, mengunjingkan, menfitnah orang lain untuk sebenarnya ingin menunjukan keberadaan diri atau secara ego dianggap diakui.
Yang lebih parah, jika seorang melakukan kesalahan fatal, dan orang lain berusahan memberitahu, orang tersebut malah menjadikan orang lainnya seperti tameng diri untuk menghindari atau menutupi kesalahannya, bahkan bisa berbalik menuduh orang yang menasehatinya sebagai biang, dan membicaran hal yang jelek tentang orang lain.

Maka menjadi yang berperan utama dan berprestasi, jauh lebih baik sebagai diakuai orang lain akan keberadaan diri.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Ana Catur Mungkur”, pantang untuk membicarakan hal buruk tentang pasangannya kepada orang lain, apalagi sekedar untuk gagah-gagahan kalau semua temannya bercerita tentang kejelekan pasangan mereka. Jika ada masalah hendaklah diselesaikan masalah, masalah negatifnya pribadi pasangan tetaplah dibawa hanya sampai pintu utama rumah, artinya tidak perlu dibawa-bawa kemana-mana, malah bercerita hanya untuk pembenaran diri.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), sebagai orang tua/guru, perannya sebagai pemimpin, memimpin dengan memberikan contoh, bukan memimpin dengan menjatuhkan orang lain agar terlihat lebih hebat. Kalau demikian terjadi, maka akan berdampak pada anak/murid cenderung punya alasan untuk melakukan sesuatu yang jahat. Berbahaya!!!

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ada kata-kata bahwa jangan mencampuri urusan orang lain, yang bermakna jangan menyematkan tuduhan yang negatif kepada orang lain, agar kita dianggap baik.

22. “Jajah Desa Malang Kori”

Artinya: Menjelajah kemana-mana.

Saat kehidupan wadah fisik kita kali ini, merupakan bagian yang sangat kecil penjelajahan kita dalam kehidupan sebenarnya yang begitu luas sebelum dan sesudahnya.

Kita sudah kemana-mana dan akan juga kemana-mana, yang hanya ada tujuan untuk kita menjadi tabib ataupun menjadi pasien untuk kehidupan ini.

Hidup kita saat ini juga tidak lepas dari pencarian, agar kita bisa terus menerus mendapatkan keilmuan pengertian (Kawruh), yang mana intinya adalah apakah kwalitas diri (hidup) anda meningkat? Kalau belum, maka anda belum kemana-mana walaupun anda telah pergi jauh menyeberang samudra, melewati benua.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Jajah Desa Malang Kori”, juga mengajarkan untuk tidak pernah berhenti mencari, menambah pengertian senantiasa untuk membangun keluarga yang tetap utuh.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru yang hebat (benar) adalah mereka yang mempersiapkan langkah/jalan/ anak-anak/murid mereka untuk senantiasa selalu bersih dan benar.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), senantiasa berbagi dan menerima semua saudara yang telah datang dan pergi guna untuk selalu menjadi suatu motivasi saling asah asih asuh.

23. “Rawe Rawe Rantas Malang-Malang Putung”

Artinya: Maju tak gentar, pantang Mundur.

Berjuang untuk selalu mencapai apa yang menjadi kemauan diperlukan suatu semangat lebih yang tak kenal menyerah.

Manusia yang sengsara atau menderita bukan lantaran ada garis hidup demikian, tapi kebanyakan karena mereka yang mudah menyerah.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Rawe Rawe Rantas Malang-Malang Putung”, bubarnya suatu keluarga, lantaran salah satu atau dua-duanya mudah menyerah dan tidak berani menghadapi apa yang ada di depan, cenderung khawatir. Maka pesan orang tua, sekali sudah melangkah dalam membagun rumah tangga, pertahankan seumur hidup.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid yang berhasil yang maju tak gentar, pantang mundur.. Merekalah yang berhasil akan mencapai ilmu yang dicari.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling menyemangati, saling mendukung agar terus maju dalam setiap usaha, akan saling meningkatkan kwalitas, sehingga terbentuk suatu masyarakat yang beradab.

24. “Ugak Ugak Pager Arang”

Artinya: Mempermalukan orang lain.

Kata malu disini adalah lebih kearah merendahkan yang lain, yang memperlihatkan aib orang lain. Satu tindakan yang bisa berakibatkan dendam yang tak berkesudahaan, yang memperpanjang sejarah permusuhan yang tak pernah berhenti.

Jika satu batang pohon bisa menghasilkan seribu batang korek api, demikian pula dengan satu batang korek api dapat membakar habis isi satu hutan.
Artinya bahwa satu lembaga/keyakinan/organisasi/agama bisa menghasilkan ribuan orang tercerahkan, namun satu orang dari sana juga bisa menghancurkan moral (hal benar) seisi dunia.
Hal ini tak lain adalah karena bersifat agresif untuk mempermalukan satu sama lain, dan merasa puas, sehingga dendam tak kunjung usai.

Berhentilah menilai buruk orang lain dan berhentilah memperburuk keadaan. Anda butuh di sembuhkan, Aku butuh disembuhkan, Dia butuh disembuhkan, Mereka butuh disembuhkan, jadi mari kita semua berhenti sejenak saja untuk tidak mempermalukan orang lain, dengan label penilaian buruk kita.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Ugak Ugak Pager Arang”, cinta itu adalah membangun dan memperbaiki, jika ada sesuatu yang buruk, bukanlah untuk dipermalukan, tapi untuk diperbaiki dan dibangun kembali.
Aib pasangan aib anda juga, demikian sebaliknya, maka perbaikilah!

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid yang baik dan tidak mempermalukan orang tua dan gurunya adalah menjalankan dengan sungguh-sungguh yang dimengertinya.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling hormat menghormati, sopan santun, dan menjaga martabat dari orang lain adalah ciri masyarakat membangun komunitas secara sehat tanpa ada saling mencurigai dan menuduh.

25. “Weruh Ing Grubyug, Ora Weruh Ing Rembug.”

Artinya: Ikut-ikutan namun tidak mengerti permasalahannya.

Jaman telah berubah, dan akan terus berubah, jika kita tidak mau berubah maka akan punah tergilas perubahan itu sendiri. Namun demikian, jangan sampai kita ikut-ikutan yang tidak jelas jentrungannya, perubahan tidaklah melulu masalah dari A menjadi B (berubah) tapi bisa jadi adalah dari A menjadi memahami secara utuh A, yang bisa beperan secara lengkap fungsi A secara utuh.

Kasihan banyak generasi  ikut-ikutan era globalisasi karena merasa bahwa adalah suatu jaman era modern (serba iptek), akhirnya terjebak sendiri dalam ikuta-ikuta tidak jelas, sehingga gampang untuk di jajah dalam segala bidang.

Kita diajak untuk harus tahu/weruh segala permasalahan yang ada, jangan ikut-ikutan arus.. Jika tidak mengerti maka lebih baik berhenti sejenak dan belajar…

– Dalam kehidupan berumah tangga,  “Weruh Ing Grubyug, Ora Weruh Ing Rembug.”, jika komunikasi mandeg pada salah satunya, maka yang lain harusnya bisa menunggu sejenak jangan ikut-ikutan untuk mutung mandeg juga, dalam hal lain berlaku untuk emosional.
Berhenti/menunggu sejenak agar mengerti dan dapat melihat secara jernih dan jelas.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), jangan menjadi penonton yang terlalu ashik untuk ikut-ikutan terhadap apa yang di lakukan oleh orang tua/guru, karena kita belum bisa memahami apa maksud dari laku-nya.
Kerjanya anak dan murid adalah belajar bukan sebagai juri yang menilai apa yang dilakukan orang tua dan murid.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mencampuri urusan dan permasalahan yang terjadi, padahal tidak mengerti apa-apa, justru akan memperkeruh suasana, justru membuat hubungan masyarakat dari kita menjadi memburuk, bahkan cennderung rusak.
Lebih bijak kita tetap menjaga ke”ashik”an dalam gotong royong.

26. “Dhemit Ora Ndulit Setan Ora Doyan”

Artinya: Selalu dalam keselamatan tanpa adanya goda.

Semboyan sakti sebagai alasan dan kabing hitam sering kita denger adalah kalau seseorang tidak selamat karena berbuat salah, kita akan denger bahwa manusia itu tidak bisa luput dari kesalahan atau manusia tempatnya salah.

Ah… kenapa manusia malang seperti itu? Padahal harusnya manusia selalu dalam keselamatan bahkan tidak ada gangguan yang berarti.

Menunut dasarnya sesuatu terjadi pada manusia, sebenarnya bukanlah karena manusia tempatnya salah, jika tidak terjadi keselamatan, tapi memang lantaran dari dasar manusia tidak memiliki kesadaran, kenapa bisa tidak sadar, karena tidak mau belajar, kenapa tidak mau belajar, karena merasa sudah tahu, kenapa merasa sudah tahu, karena bersikap mental bodoh, kenapa bersikap mental bodoh, karena tak berbudi, kenapa tak berbudi, karena tidak berkemauan baik.

Atau kalau dibalik bahwa Jika kita tidak Berkemauan Baik, maka kita akan tak memiliki budi, sehingga menyebabkan sikap mental yang bodoh, yang membawa kita menjadi manusia yang merasa tahu, akibatnya kita tidak mau belajar lagi, yang akhirnya menjadi tidak memiliki kesadaran.

Keselamatan adalah milik semua manusia yang memiliki Kemauan yang baik, namun kalau masih malang maka kemauannya masih semu/palsu.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Dhemit Ora Ndulit Setan Ora Doyan”, keluarga yang terhindar dari bencana, adalah mereka yang membangun komunikasi yang efektif… Keluarga yang membangun komunikasi efektif adalah mereka akan bahagia menikmati keselamatan.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru, senantiasa akan menyiapkan agar anak-anak dan murid mereka selalu akan dalam keadaan selamat, maka selalu akan memberikan yang terbaik segala yang di minta, tapi bahayanya kalau Kemauan Baik tidak di tanamkan dari awal, maka nanti berbentuk suatu hal yang sebaliknya dari keinginan awal.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kita diajarkan untuk selalu saling bertegur sapa dan selalu siap untuk membantu yang lain, dan pada hakekatnya adalah membangun masyarakat yang dalam keselamatan/kebahagiaan. Untuk itu kita jangan lupa juga harus saling menanamkan sikap Jiwa besar agar kita saling memaafkan/mengampuni, dan jiwa murah hati, agar bisa saling memberi.

27. “Kebo Bule Mati Setra”

Artinya: Yang pintar tapi tidak dipergunakan kepintarannya.

Kita yang hidup bersama senantiasalah selalu saling untuk mengisi, salah satu yang terlupakan dalam saling mengisi kehidupan ini adalah kadang kita melupakan kepintaran dari orang lain untuk mengisi hidup kita, kita malahan lebih sering mencurigai, menilai orang lain dengan ukuran kepintaran kita, sehingga banyak yang pintar disekitar kita, justru kita tidak bisa belajar dari mereka karena tidak bisa memanfaatkan kepintaran mereka, lantaran kita merasa lebih pinter.

Maka lepaskanlah diri dari belenggu bahwa kita paling tahu dan paling pinter, orang lain belum tahu apa-apa!

Demikian juga kita kadang tidak bisa memanfaatkan kepintaran sendiri untuk bisa membantu diri sendiri dan orang lain, kita lebih cenderung ashik membanding-bandingkan dan memberikan kesimpulan yang disematkan pada orang lain.

Setiap orang memiliki kepintaran pada bidang tertentu, jangan menganggurkan kepintaran orang lain dan diri sendiri.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Kebo Bule Mati Setra”, hampir dari semua budaya menganut paham patriakat atau laki-laki lebih unggul, sehingga banyak dari para istri selalu menjadi pelengkap (bahkan penderita), manfaatkanlah kepintaran istri/pasangan hidup kita, untuk bisa membangun keluarga yang benar-benar menjadi  sigaraning nyowo, bukan merasa lebih unggul atau lebih pintar, tapi seiya sekata, sejiwa.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), manfaatkan sebaik-baiknya orang tua/guru kita, selagi mereka masih mendampingi, jangan menyesal saat mereka sudah tidak ada, karena anak/murid tidak memanfaatkan setiap moment.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ciri-ciri mereka yang selalu siap berbagi kepintarannya dan juga orang yang pintar kita bisa manfaatkan kepintarannya untuk membangun masyarakat yang lebih baik adalah mereka yang mengerti dan melakukan apa yang dimengertinya, bukan mereka yang bisa menjawab semua pertanyaan.

28. “Timun Wungkuk Jaga Imbuh”

Artinya: Menjadi pelengkap atau cadangan.

Pribahasa yang cukup kita kenal yaitu “Tak ada rotan, akar pun jadi”, apapun yang bisa kita pakai untuk melengkapi kekurangan yang ada, maka bisa secara baik dipakai. Itu adalah cerminan bagaimana kreatifitas berjalan, ini gambaran pemanfaatan barang tapi bukan untuk manusia. Namun sebagai manusia, untuk usaha dan sikap mental pada diri, maka kita tidak boleh hanya sekedar menjadi cadangan atau pelengkap penderita, yang artinya bahwa kita bukan yang beperanan utama atas diri kita.

Kita bisa menjadi manusia yang punya peran penting dalam hidup kita sendiri maupun orang lain. Andalah yang menentukan harga diri anda sendiri, seorang bijak  mengatakan bahwa “yang dapat menyakiti diri kita, hanya jika kita sendiri mengijinkannya”, jadi sebenarnya kita tidak bisa disakiti selama kita menjadi berperanan.

Demikian hal nya peran kita, kita hanya bisa memerankan diri atau tidak, itu kitalah yang berpegang pada diri sendiri.

Jadilah manusia yang memiliki peranan utama.

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Timun Wungkuk Jaga Imbuh”, Hai… para istri/wanita, anda bukanlah pelengkap penderita, atau ban serep bagi suami/pasangan anda. Maka tampillah menjadi istri/wanita yang memiliki peran penting dalam mencintai dan membangun keluarga. Dan hai.. para suami/lelaki, jangan menyia-nyiakan istri hanya diperankan sebagai pembantumu, gundikmu, yang hanya engkau manfaatkan saat untuk memenuhi keegoisan diri, cintailah dan bangunlah bersama agar keluarga menjadi beperan utama dalam kepemimpinan yang tunggal, bukan hanya satu pribadi saja.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak atau murid bukanlah hanya untuk menjadi sekedar diberitahu saja, yang hanya melaksanakan perintah-perintah, tapi suatu saat akan menjadi mengerti dan yang berperan utama yaitu menjadi orang tua atau guru itu sendiri.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kalau kita adalah pemengang peran utama, maka estafetkan pula kepada yang lain agar punya kesempatan untuk berperan, itulah sikap untuk membangun masyarakat yang saling melengkapi untuk lebih baik. Janganlah “one man show” dan orang lain selalu salah atau hanya pelengkap saja.

29.  “Kekudhung Walulang Macan”

Artinya: Melakukan perbuatan jelek/jahat dengan berlindung dibalik nama besar.

Menurut para psikolog dan ahli tingkah laku, bahwa hampir 90% tingkah laku atau apa yang dilakukan sehari-hari oleh manusia, sepenuhnya di gerakan atau tanpa sadar di kendalikan oleh alam bawah sadar yang kita sendiri bisa jadi tidak menyadari.

Dari pernyataan di atas tersebut, tentunya tingkah yang tidak sadar adalah suatu aktiftitas yang dilakukan secara berturut-turut dilakukan dengan terus menerus sehingga terbentuk suatu kebiasaan. Dan kebiasaan tentunya dilakukan sebelumnya dengan sadar, dengan demikian bahwa apapun dilakukan dengan sadar, nantinya berujung pada tingkah laku yang dilakukan dengan kebiasaan yang telah tertanam dalam alam bawah sadar.

Ini juga bisa menandakan kita bertanggung jawab atas tindak tanduk kita.

Zaman ini adalah jaman seperti manusia kehilangan jati diri sendiri, mengapa? Karena kita banyak lihat bahwa orang-orang banyak melakukan sesuatu karena membawa nama dan mengatas namakan nama besar baik pribadi, kelompok, golongan, organisasi bahka agama. Celakanya adalah kelakukan yang dilakukan adalah tindakan atau perbuatan jelek/jahat pada orang lain, ini  bisa disebut tidak bertanggung jawab atau berlindung atas nama besar, untuk men-legal-kan perbuatan-nya.

Sungguh memang di sayangkan, bahwa kita masih menjalankan kehidupan ini dalam tatanan yang tak bertanggung jawab, atau bersifat mempertahankan diri, bisa juga disebut Kahewanan (mempertahankan hidup dengan mengorbankan yang lain).

Mari kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan, tidaklah perlu menuntut pertanggung jawaban orang lain yang sebenarnya mungkin karena anggapan-anggapan kita yang tidak bertanggung jawab pula. Yang jelas janganlah mengatas namakan!

– Dalam kehidupan berumah tangga, “Kekudhung Walulang Macan”, perselisihan bisa terjadi, selesaikan dengan pikiran jernih hati yang gembira, tidak perlu mencela atau menyudutkan pasangan dengan mengatas namakan nama besar seperti: cinta, kebahagian, orang tua, bahkan Tuhan, misalnya tidak cocok, mau cerai, berselingkuh lalu mengatas namakan bahwa kalau memang bukan kehendak tuhan pasti tidak terjadi, semua kan sudah kehendaknya…

Ini rusak dan Parah bukan? Kalau arek Surabaya bilang “Kehendak gundulmu!!!”, bikin salah tapi masih berlindung atau melempar tanggung jawab.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), ngasuh pengertian dari orang tua atau guru, hendaklah akan membuat anak/murid menjadi pribadi yang menjadi bertanggung jawab, yang tentu tidak boleh berlindung pada nama besar orang tua dan guru. Banyak anak/murid yang tidak maju, karena melakukan segala tindakan mengatas namakan nama besar orang tua dan guru mereka. Menjadi anak dan murid membuat kita menjadi berkesadaran, bukan menjadi bayi raksasa.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), Ahaaa…. disinilah sering kita temukan bahwa pergesekan sering terjadi lantaran kalau hubungan antar keluarga/bermasyarakat tidak memiliki dasar kemunusiaan atau humanity, tapi lebih banyak karena kelompok yang menganggap lebih dari dari kelompok lain. Padahal jelas yang berkelompok itu kan bersifat Kahewanan, justru bukan Karobanan (Kemanusiaan).

Sehingga menjatuhkan kemasyarakatan ini dengan mengatas namakan kelompok dan nama besar disana.

Kemasyarakatan ini harus dibangun dengan Kemanusiaan, kemanusian dari pribadi kita tak lain adalah dengan adanya Budhi Welas Asih.

30. “Setan Nunggang Gajah”

Artinya: Berbuat se-mau-nya sendiri.

Saat kita berada didalam kendaraan sering kita melihat saudara kita dimobil depan, keluar tangan membuang tisue atau plastik keluar dijalan.

Ada juga kadang di ruang terbuka maupun tertutup, orang yang merokok seenaknya membuang puntungnya, belum lagi sampah dan lainnya. Dari cerminan ini maka tidak heran secara akumulatif, masyarakat kita terdidik secara tidak sengaja untuk berlaku semaunya, masa bodoh, cuek tingkat tinggi, maka kalau ada korupsi waktu, fasilitas sampai uang dan jabatan, kemungkinan karena didikan dari hal-hal sepele…

Ah… dalam hati kok terdetik, kenapa berbuat semaunya ya…

Kita hidup dalam masyarakat beradab, tapi karena toleransi yang tinggi, kadang kita memperkosa hak-hak orang yang hidup toleran, kita lebih mementingkan keagungan diri dan kelompok, daripada menjadi manusia pribadi yang unik dan beradab yang sebenarnya harus kita junjung tinggi.

Mulailah untuk tidak semaunya sendiri dari hal-hal kecil.

Dalam kehidupan berumah tangga, “Setan Nunggang Gajah”, sering ditunjukan oleh pasangan yang seenaknya memperlakukan pasangan yang lain, dimulai dari ketidak jujuran hal kecil biasanya… Pasangan sering dianggap tidak perlu tahu terlalu banyak urusan pasangan yang lain… Sehingga muncul semaunya tanpa memperhatikan perhatian dan perasaan dari pasangannya.

Menjadi saling peduli dalam kejujuran adalah tips mujarap untuk menghindari sikap mental yang masa bodoh dan berlaku semuanya.

– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), kalau anak atau murid sudah memulai kebohongan sekecil apapun, maka itu nantinya akan menjadi bibit unggul untuk tumbuhnya sikap semaunya sendiri, maka orang tua/guru harus berusaha untuk jeli dan juga memberikan pengarahan yang tepat agar anak/murid mengerti menjadi manusia bertanggung jawab.

– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), perhatikanlah kiri kanan kita, tetangga kita, bukan ikut campur, tapi tunjukan kepedulian kita dan rasa sikap empati dalam segala hal, janganlah kita hanya maunya sendiri merasa tidak menganggu dan tidak diganggu orang lain itu sudah dianggap menjadi orang yang baik/hidup yang baik. Itu akan menimbulkan pembangunan masyarakat yang seutuhnya tidak terjadi, dan akan menjadi tumpul, sehingga masyarakat gampang di adu domba dan dipecah belah.

Semoga Bermanfaat…
Berkah Dalem Gusti.

bersambung ke bag. 4

Salam Sejati

Jika ingin diskusi, silahkan berkunjung ke FB Group: http://www.facebook.com/groups/sarasehan.gantharwa/doc/414346361941708/

atau daftar ke milis.

“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 3