“1001 Falsafah Jawa dalam Kehidupan” Bag. 4
Oleh: Nata Warga
31. “Golek Banyu Bening”
Artinya: Belajar pada guru yang benar.
Sejarah perjalanan manusia tidak lepas dari guru dan belajar, istilahnya “Tiada kehidupan tanpa disentuh oleh guru” dan “Tiada kehidupan tanpa belajar”. Kenapa? Setiap jengkal kehidupan kita adalah belajar untuk mengerti dan lebih mengerti, baik itu lewat bimbingan maupun pengalaman.
Berguru itu banyak, bisa kemana-mana, sejarahnya setiap manusia itu berguru, dimulai dari berguru pada guru mati, yang artinya belajar dari prasasti, buku, kitab, litelatur, bahkan seni, yang sifatnya komunikasi satu arah. Lalu berguru kepada guru hidup, seperti berguru kepada, orang tua, sekolah, pemuka agama, yang sifatnya 2 arah komunikasinya.
“Guru-guru” inilah yang membuat kita dibimbing dalam hal yang benar… Permasalahannya muncul ketika kita bertanya, apa itu yang bisa disebut benar?
Seorang bijak menjelaskan bahwa:
“ngupadi ilmu mangkono kudu ateken tekun atemah tekan..
kanthi syarat 3 perkara”, yaiku :
(“menuntut ilmu harus berpedoman kepada ketekunan..
niscaya sampai pada tujuan.. dengan syarat 3 perkara”, yaitu 🙂
1. ilmu kang bener..bener kanggo pribadine dewe..
bener tumraping sesami gesang..lan bener tumraping Pengeran.
(1.ilmu yang benar..benar bagi pribadi kita sendiri..
benar bagi sesama hidup..dan benar bagi Tuhan..)
2. ilmu kang tanpa sirikan..
(2.ilmu yang tanpa pantangan..)
3. ilmu kang asipat langgeng..
(3.ilmu yang bersifat langgeng – Abadi..)
Walau padangannya mungkin bersifat abstrak ataupun butuh penjelasan lebih ditail, tapi minimal bahwa ini mengindikasikan bahwa Benar itu bersifat mencakupi dan menaungi tanpa tanpa syarat.
Dalam kehidupan ini ibaratnya kita sedang naik perahu dengan dayung ditangan, dan kita berada di sungai dengan ada arus, perahu kita menantang arus, saat mendayung adalah belajar, maka kalau kita belajar maka kita sedang mendayung maju, tapi kalau saat kita berhenti belajar, maka kita berhenti mendayung, dan bisa dipastikan kita akan terseret dibawa arus sungai.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Golek Banyu Bening”, sama-sama harus selalu tidak pernah puas untuk saling belajar dan saling mengajar (menjadi guru)/ saling mengisi, sehingga rumah tangga yang kokoh dan penuh kebahagian akan tercipta, dan akhirnya membawa kita menjadi pribadi yang senantiasa membangun keluarga yang utuh atau tunggal.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), Hai murid, taati ajaran guru, tapi jangan ikuti teladannya yang bertentangan dengan ajarannya… Nasehat ini jelas agar, anak atau murid, senantiasa memetik setiap pengertian benar untuk pribadinya bukan untuk memuaskan orang lain, orang tua, maupun guru-nya.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling belajar atau memerankan diri menjadi guru, agar hal-hal yang benar yang bentuknya seperti gotong royong, haruslah menjadi perhatian utama dalam interaksi bermasyarakat, jika kita bisa mempertahankan kondisi dan sikap yang demikian, maka keberadaban dalam berprikemanusiaan kita akan semakin berbudi luhur.
32. “Jembar Segarane”
Artinya: Berjiwa besar memaafkan.
Setiap hari kita disugguhi dari berbagai macam peristiwa melalui mata kepala kita sendiri dan juga melalui media, bagaimana “Maaf” menjadi hal yang sangat langkah sekali…
Mulai dari pemimpin dan pemuka agama tidak memberikan contoh untuk memberikan maaf pada sesama.
Untuk dapat memaafkan diperlunya jiwa besar dalam diri kita. Jiwa besar dapat terbentuk jika secara pengertian dan pandangan benar akan hidup ini dan hidup dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Jembar Segarane”, yang bisa dikatakan berlapang dada untuk memaafkan sebesarnya, maka jika ini di junjung, niscaya kehidupan rumah tangga senantiasa akan utuh, namun kekhawatiran muncul bahwa nanti akan menjadi memanjakan, tentunya ini harus kita ingat bahwa kehidupan berumah tangga bukan terikat, tapi harus saling mengikatkan diri dalam batasan-batasan berumah tangga.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru, senantiasa adalah manusia yang memiliki semangat memaafkan paling banyak terhadap anak dan murid nya. Berjiwa besar yang ada pada orang tua dan guru, inilah yang menjadi titik takar, kwalitas dari mereka, dan ini pula yang akan menjadikan anak dan murid mereka menjadi murid yang memiliki teladan yang benar dan baik. Dalam hal ini orang tua dan guru dalam memaafkan bisa berarti selalu memberikan kesempatan kepada anak dan murid dalam meningkatkan pengertian dan pemahaman.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari kita saling memanfaatkan diantara kehidupan bermasyarakat dan memasyarakatkan saling memaafkan.
33. “Ojo Leren Lamun Durung Sayah”
Artinya: Jangan berhenti sebelum capek.
Semangat berkarya/laku haruslah senantiasa selalu tumbuh, menjadi manusia yang penuh aktifitas adalah suatu hal pasti karena design tubuh manusia memungkinkan demikian. Akan tetapi mudah menyerah dan bermalasan (dalam segi negatif) pada hal belum mengalami titik puncak, atau belum capek kita sudah beristirahat. Jangan terlalu cepat menyerah, senantiasa semangat tinggi berkarya, karena kalau kita cepat menyerah nanti akan menjadi satu kebiasaan malas yang berulang-ulang untuk karya selanjutnya.
Capek dalam hal ini adalah lebih menitik beratkan tidak adanya keseimbangan antara pikiran dan perasaan. Dimana kedua hal ini tidak sinkron lagi. Karena kalau capek dipaksakan maka akan membuat frustasi, kalau frustasi akan menghasilkan karya yang jelek.
– Dalam kehidupan berumah tangga, “Ojo Leren Lamun Durung Sayah”, jangan berhenti untuk selalu saling membangun dan saling berkomunikasi secara efektif dalam segala hal, jangan mudah menyerah kepada pasangan yang ngeyel, tetaplah selalu mempertahankan semangat dan daya juang yang tinggi, agar selalu dalam kemanunggalan.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak dan murid melakukan tanpa harus memikirkan kapan harus berhenti karena orang tua atau guru tahu/wruh kapan anaknya dan muridnya kapan capeknya.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), janganlah kita berkilah atau menghindar untuk selalu senantiasa punya kesempatan membangun masyarakat yang beradab.
34. “Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi”
Artinya: Kwalitas diri tercermin dari tutur kata.
Tentu kita pernah mengalami suatu situasi dalam kesempatan diskusi, dimana terjadi perdebatan, ada yang saling cerca atau maki, berteriak dan juga saling adu keras suara, seolah-olah semua harus mendengerkan yang berteriak paling keras. Atau mungkin kita pernah dalam situasi dimana ada suatu diskusi monolog, dimana kita sebagai pendenger, dan justru yang berbicara memaki, berteriak dengan suara keras, seolah-olah bahwa yang mendengerkan harus nurut dan tidak boleh membantah.
Diantara kedua pengalaman, tentu kalau secara jernih kita melihat, tentu ada rasa prihatin yang muncul. Gus Dur pernah mengatakan DPR itu seperti anak TK, kalau di tangkap sebenarnya itu adalah menunjukan rasa prihatin, karena Gus Dur mungkin pernah dalam situasi pertama yaitu adanya saling debat, cercam, maki, teriak, walaupun belum tentu Gus Dur belum tentu tidak melakukan kepada yang lain.
Namun dari pesan ini, bisa kita mengungkapkan bahwa pribadi diri, harga diri, sangat tercermin pada kata-kata yang kita ucapkan.. Pernah saya bertanya pada seorang bijak, kalau saya sudah baik, bagaimana saya meningkatkan kwalitas diri, beliau hanya pesankan “Jaga tata basa lan tata laku”.
Dari sana bisa kita merenungkan bahwa ternyata “tata basa” / berkata-kata/berbahasa/berkomunikasi merupakan petunjuk atau indikator bagi diri sendiri apakah kita sudah cukup baik kwalitas kita atau hanya anggapan-anggapan sendiri.
Kalau dalam dunia persilatan dikatakan, “Tajamnya pedang sakti, tidak setajam lidah”, artinya kata-kata bisa melukai orang lain, kata-kata bisa menjadi racun, dan bisa membunuh orang lain.
Kata-kata disini yang mencerminkan diri adalah kata-kata yang mengandung motif, kata-kata yang isinya “Berkemauan” atau “Karsa”, diantara pilihan pengertian inilah bisa sangat menjadi indikator kwalitas diri yang baik atau justru sebaliknya.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi”, menurut penelitian, bahwa sehari laki-laki menghabiskan 7.000 kata untuk berbicara, sedangkan wanita menghabiskan 20.000 kata. Sangat indah kalau misalnya kata-kata ini adalah saling untuk menghidupkan. Disini peran wanita sangat penting juga bahwa bahasanya sangat dinanti untuk bisa menjaga stabilitas keluarga, maka jangan heran ada istilah bahasa ibu, karena ibu memang lebih sebagai pembicara keluarga, lewat bahasalah ibu mendidik/membangun keluarga. Namun laki-laki harus secara serius memperhatikan, tidak boleh asal melempar kata-kata walau pengunaan katanya lebih sendikit. Intinya cara berkomunikasi mencerminkan kwalitas keluarga.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), cara penyampaian bahasa kasih sangat penting dalam hubungan orang tua dan anak… Guru juga demikian halnya, tahu tata basa yang akan dipakai untuk murid, namun repotnya murid sering suka untuk mengambil kesimpulan sendiri. Kadang guru tidak mengeluarkan suara dalam bertutur, tapi dari sikap itu juga mencerminkan bahasa tertentu. Ada istilah, kalau sudah sampai ditegur beberapa kali oleh guru, itu sudah berarti keterlaluan. Guru selalu akan berusaha memilih kata-kata, agar walaupun murid tidak jadipun, tapi murid setidaknya bisa baik dalam bertutur kata. Demikian halnya hendaknya semua orang tua demikian.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mengendalikan diri dalam berkata-kata agar tidak memberikan efek negatif, tidaklah menyendiri dalam hal prinsip hidup. Berbahasa dan berkata mengandung energi, energi yang menunjukan diri kita, yang bisa membangun dan juga merusak, maka tercermin diri kita apakah sebagai pembangun (penuh welas asih) atau perusak (penuh kemauan jahat).
35. “Menthung Koja Kena Sembagine”
Artinya: Membohongi, justru sebenarnya dibohongi.
Saat kehidupan ini, dimana ketika kita berinteraksi dengan orang-orang disekitar kita, dengan ego yang begitu kuat dalam mempertahankan diri, maka jurus ampuh yang sering dipakai adalah dengan membohongi, agar selamat dari resiko maupun tanggung jawab.
Bohong disini yang di maksud tentunya bukan sekedar matematis, tapi lebih kepada motivasi yang bersifat merusak atau tidak membangun.
Pemangku jabatan pada negara sering sekali dianggap membohongi rakyatnya jika dianggap suatu janji tidak terealisasi, lalu dicarilah akal-akalan untuk menipu/membohongi rakyat dengan motivasi yang merusak, pejabat boleh saja berhasil dan senang membohongi, namun sebenarnya dalam arti lebih dalam itu bisa membohongi dirinya sendiri karena resikonya untuknya jauh lebih besar, hanya mungkin secara matematis tidak terhitung/terlihat.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Menthung Koja Kena Sembagine”, jangan ada dusta diantara kita, demikian nyanyian sebuah lagu. Sekecil apapun tetaplah selalu saling terbuka, janganlah membohongi. Berbohong pada pasangan, bukan hanya sekedar berbohong pada pribadinya, tapi pada keutuhan keluarga secara keseluruhan.
Segala hal jelek yang terjadi dalam rumah tangga, biasanya lantaran terlambat untuk jujur.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak atau murid sering berusaha untuk mengelabui orang tua atau guru atas tanggung jawab mereka, yang mana ingin membohongi orang tuanya atau gurunya, padahal dalam arti sebenarnya mereka telah membohongi diri mereka sendiri dan telah setuju untuk tidak menjadi anak atau murid yang baik. Demikian orang tua atau guru sering membohongi anak dan murid lantaran gengsi atas kesalahan di buat, berani untuk refleksi diri dan mengakui serta berhenti melakukan, jauh lebih baik dan benar, daripada tetap menjaga nama baik.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari kita junjung kehidupan ini dengan segala kejujuran, karena dunia memang sudah demikian ruwet, janganlah kita membebani diri kita dengan kebohongan yang akhirnya menghambat diri kita untuk beradab dan tentunya mempengaruhi masyarakat yang untuk menuju peradaban yang lebih luhur.
36. “Sedhakep Ngawe-Ngawe”
Artinya: Tergoda untuk berbuat lagi, walau sudah bertobat.
Kata motivator bahwa sukses bukan dihitung dari berapa kali mencapai target, tapi berapa kali anda gagal dan bangun lagi untuk mencapai target. artinya memperbaiki yang salah/gagal, bukan mgnulangnya. Demikian jika kalau kita berbuat kesalahan dan sudah berhenti, hendaknya kita cukup berhenti selesai, tapi kita malah sering berkeinginan untuk berbuat lagi kesalahan yang sama.
Dalam kehidupan kita, kita sering merindukan untuk memuaskan ego kita, ingin sekali bahwa semua adalah semau kita, maka ingin apapun itu adalah harus sesuai pengharapan kita.
Muncullah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kaidah yang ada, dan inilah yang dianggap sebagai pemuas para ego diri.
Kesalahan yang kita buat dari perbuatan, yang mana saat menyadari untuk berhenti melakukan salah, apalagi diikuti berhentinya melakukan kesalahan, maka itu sudah merupakan kemajuan secara hakiki. Namun kebodohan kita jugalah yang selalu mengulang lagi, tergoda untuk lakukan lagi, karena untuk memuaskan ego sesaat.
Kebodohan yang dipelihara itu akan membuat kemerosotan nurani, yang akhirnya berpengaruh secara akumulatif ke semuanya.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Sedhakep Ngawe-Ngawe”, sudahlah… kalau sudah pernah buat salah, jangan pernah berpikir untuk nyoba-nyoba atau memberikan dispensasi/alasan diri, apalagi dengan semboyan sakti “manusia tidak bisa luput dari salah.”, sungguh saya katakan bahwa harusnya “manusia tidak akan buat kesalahan kalau dia tidak mau, tidak lalai, dan tidak menyerah.”
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak-anak atau murid yang berhasil adalah mereka yang bisa belajar dari kesalahan orang tua dan guru mereka, disamping teladan baik orang tua dan gurunya.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari kita putuskan hubungan dengan segala kesalahan-kesalahan yang telah menjadi penyakit masyarakat… Mari renungkan dan temukan penyakit itu.
37. “Alon-Alon Waton Kelakon”
Artinya: Pelan-pelan namun pasti terlaksana.
Saudara-saudara semua, hidup ini berpacu dengan kecepatan waktu, seolah kita kejar-kejaran dengan waktu yang semakin sempit, maka tidak ada istilah untuk berleha-leha. Namun, janganlah juga kejar-kejaran yang tidak efektif serta panik-an. Dalam segala hal, semua itu dibutuhkan pengertian yang tepat, agar secara pasti kita tahu apa yang akan kita lakukan pasti terjadi, atau kita mengetahui persis kejadian yang secara pasti.
Pada falsafah di atas bukan mengajarkan kita santai, karena memang sering dipakai untuk menunda-tunda perkejaan dengan falsafah ini, tapi disini lebih menitik beratkan “terlaksana”-nya… Akant tetapi untuk bisa demikian, maka langkah awalnya adalah pengertian yang tepat tentang sesuatu yang akan kelakon. Seperti halnya memasak, kita tahu persis nasi akan matang dalam waktu 10 menit, tapi yang mau makan sudah lapar, saat masak nasi tersebut, yang lapar akan mengatakan bahwa kita lambat, dan memang saat itu kita melambatkan aktifitas menunggu waktu 10menit. Pilihannya adalah segera angkat nasinya tapi tidak matang (tidak kelakon/terlaksanan) atau menunggu/memperlambat aktifitas dan matang setelah 10 menit (kelakon). Jadi… fokusnya adalah kelakon-nya bukan alon-alon nya..
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Alon-Alon Waton Kelakon”, bisa diartikan sebagai kesabaran dalam membangun keutuhan rumah tangga. Banyak dari kita sering tidak puas dengan pasangan, salah satu faktor ketidak sabaran. Percayalah bahwa saat yang tepat semua akan terlaksana, yang diperlukan adalah pengertian dan pemahaman yang harus terus meningkat dari pasangan hidup.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak-anak dan murid rajinlah belajar, orang tua dan guru tahu kapan saatnya, jangan terburu-buru dan panik.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mari kita bersemangat lebih pada terlaksananya suatu hajatan besar, walau waktu bisa sangat panjang, tapi tetaplah fokus pada cita-cita bersama.
38. “Jajah Desa Milang Kori” ~ Sambungan dari 22.
Artinya: Menjelajah kemana-mana.
Perjalanan hidup kita tidak lepas dari menuju dari satu tempat ke tempat yang lain, namun tidak semua dapat bermakna lebih dalam perjalanan. Menjelajah adalah menempuh suatu perjalanan untuk berbuat sesuatu yang baik, meninggalkan hal yang baik, dan mengajak hal yang baik pula.
Penjelajahan sering dikaitkan dengan penjajahan dari segi negatifnya, yang mana bermakna sesuatu yang buruk, meninggalkan luka, dan menanamkan dendam, tentu itu harus di tinggalkan.
Maka apakah Sumpah Palapa-nya Maha Patih Gajah Mada, apakah menyatukan dengan menjajah atau menyatukan dalam menjelajah dengan kebaikan, sehingga semua kerajaan ikut suka rela menyatu dengan Majapahit? Ini menjadi perdebatan, walau sebenarnya Majapahit merupakan kerajaan Modern yang bukan 100% mewakili Komponen Jawa itu sendiri.
Jangan takut kita menjelajah, dan berpetualangan dengan segala sikap dan sifat kebaikan. Jangan merasa terbebani dengan rasa khawatir dan keterikatan, karena apa yang kita lakukan tentu akan memberikan dampak hidup yang baik bagi yang lain, walau itu dinilai kecil.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Jajah Desa Milang Kori”, lakukanlah bersama dengan pasangan, maka keluarga akan semakin nyatu dan kompak, karena bisa belajar banyak hal dalam setiap perjalanan.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak atau murid tentu tidak pernah dibatasi orang tua atau gurunya untuk mencari dan mengali pengalaman bila mereka sudah siap. Orang tua atau guru tidak pernah juga berhenti untuk selalu menjelajah untuk meningkatkan berbuat baik dan juga melatih diri mereka juga.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), dalam penjelajahan kita senantiasa saling mengunjungi saudara jauh maupun yang belum di kenal, tujuannya adalah membangun tali silaturami dan mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan welas asih, beradap, dan benar.
39. “Sapa Sira Sapa Ingsun”
Artinya: Siapa anda siapa aku.
Secara harafiah ini adalah pemisahan kehidupan bermasyarakat maupun individu dan hal ini terlihat sekali saat ini dilingkungan kita ada pengkotakan-pengkotakan, masing-masing merasa lebih exclusive seperti berkotakan SARA. Katanya dalam bahasa gaulnya Jakarta, ente ente, aye aye ~ lu lu, gue gue, atau “sana lu, gak level dengan aku”.
Iya… itulah gambaran kehidupan kita yang menjadi mendarah daging, yang mana hal ini disebabkan bahwa sudah tidak adanya rasa rendah hati, tidak berwelas asih, tidak berbudi pekerti ~ tidak berpengertian yang benar. Maka mari kita sama-sama kembali untuk meresapi makna-makna luhur dalam kehidupan sebagai saudara, sebagai kemanusiaan, yang bukan mengukur dari bibit bebet bobot.
Makna yang lebih dalam adalah bila ini akan lebih baik dipakai untuk ke dalam diri, untuk mengoreksi diri sendiri, sehingga bisa menyadari “Sira” sebagai pekerjaan produk pikiran (indentifikasi diri), dan “Ingsun” sebagai Atma kita yang sejati. Maka itu butuh penyadaran dan pengamatan yang seksama.
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Sapa Sira Sapa Ingsun” membina hubungan keluarga yang baik, sebaiknya janganlah membeda-bedakan berdasarkan tugas dan tanggung jawab, tapi justru bersama-sama dalam segala hal menjalankan tugas dan tanggung jawab.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua atau guru yang bijak adalah mereka yang akan tetap menjaga keunikan diri dari anak-anak atau murid mereka. Orang tua atau guru tersebut tidak akan merusak indentitas diri, dan juga tidak akan membawa untuk menyesatkan pada pengkultusan/pengfiguran dari orang tua atau guru, lebih mendalam di ajarkan adalah “Anda itu unik demikian aku ini unik” maka tidak perlu meniru.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), marilah kita bermasyarakat dalam berkesatuan ukuran, tidak memandang derajat dan martabat diri dan orang lain, sehingga senantiasa kita saling membangun peradaban yang lebih luhur.
40. “Mbuwang Tilas”
Artinya: Pura-pura tidak bersalah (mengabaikan perbuatan salahnya)
Kita sering melihat atau mengalami sendiri, kalau ada seseorang yang sebenarnya tahu dia telah berbuat salah tapi dia mengabaikan atau berpura-pura itu bukan suatu kesalahan. Mungkin dianggap bahwa mayoritas demikian, maka salah pun tidak masalah. Andai di negeri ini masih ada budaya malu, bukan budaya malu-maluin, maka tentulah masing-masing pribadi tidak akan berbuat hal tercela dan berpura-pura tidak salah. Namun akan mencegah perbuatan salah, dan akan berani mengakui dan menghentikan kesalahan, maka negeri kita akan cepat bangkit.
Sudahkah saya punya budaya malu kalau berbuat salah/dosa?
– Dalam Kehidupan berumah tangga, “Mbuwang Tilas”, setiap pasangan lebihlah sensitif untuk menyadari bahwa kesalahan yang kalau dibuat akan berakibat bahaya, apalagi sudah buat salah tidak mengakui salah karena alasan gengsi egois ataupun merasa lebih unggul. Keluarga dibangun berdasarkan komitmen hidup dalam kejujuran terhadap welas asih, bukan dibangun dengan kebutaan akan hal yang benar.
– Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), sering kita temukan anak-anak dan murid sering main kucing-kucingan kalau tidak mengerjakan hal yang disuruh, anak dan murid tahu mereka salah, tapi karena takut dihukum maka lebih baik tidak mengakui. Sebaliknya hubungan orang tua/guru dengan anak/murid sering adalah dengan hadiah dan hukuman (2H), dampaknya nanti berbuat sesuatu bukan karena kesadaran, tapi karena pamrih dan takut. Bagaimana memberikan kesadaran bagi anak dan murid jauh lebih penting.
– Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), berani mengetuk pintu sebelah rumah anda (tetangga) jika memang berbuat salah, datang dan akui itu. Jika setiap rumah menyadari betapa pentingnya saling terbuka jujur dan saling memaafkan/mengampuni, maka peradaban ini bukan mustahil akan mencapai titik balik positif. Dunia menjadi begitu Indah.
Semoga Bermanfaat…
Berkah Dalem Gusti.
bersambung ke bag. 5
Salam Sejati
Jika ingin diskusi, silahkan berkunjung ke FB Group: http://www.facebook.com/groups/sarasehan.gantharwa/doc/430472850329059/
atau daftar ke milis.