Sarasehan Tentang Pedukunan Dengan Kyai Ganjel
Perjumpaan dengan Kyai Ganjel di batas kota Bandung, yang orangnya ternyata biasa-biasa saja, tidak seperti yang kita bayangkan sebelumnya.
“Maksud kedatangan kami begini, Kyai Ganjel; Kami ingin tahu pendapat Kyai tentang dukun!”
“Silahkan Nak (= kisanak, saudara), tapi ini kita bersarasehan saja!”
“Apa yang dimaksud dengan sarasehan itu, Kyai?”
”Sarasehan itu adalah salah satu tradisi Nenek moyang kita dulu, sarasehan merupakan pertukaran pendapat, dimana tidak ada perdebatan, tetapi bila ada sesuatu yang kurang jelas dapat ditanyakan sampai sejelas mungkin!”
”Bagaimana Kyai Ganjel pendapatnya, tentang Dukun yang kita denger melalui cerita: baik koran, majalah maupun dari mulut ke mulut, bahwa Dukun itu dikatakan sebagai tukang cabul, kibul, santet/tenung dll?”
”Biar Nak, itu kan kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya, kan perlu kita hormati juga!”
”Lalu apa betul, bahwa Dukun itu memang demikian itu?”
”Mungkin saja Nak, tidakkah didunia ini ada yang palsu?”
”Kalau begitu tentu ada juga Dukun yang asli, Kyai?”
”Ada Nak,!”
”Tapi mengapa sekarang ini mendapat sorotan dari masyarakat, dan banyak dukun palsu?”
”Ya sudah wajar Nak, dulu Dukun sedikit sekarang tambah banyak sesuai dengan pertambahan penduduk, dan lagi banyak yang kurang kuat mental, ataupun banyak yang menyandang sebutan Dukun tetapi sebenarnya belumlah pantas. Jadi Dukun yang palsu maupun yang menyeleweng juga tambah banyak. Tapi baik Dukun maupun yang bukan Dukun, semuannya akan memetik buah hasil perbuatan masing-masing. Dan itu terserah kepada kebebasan masyarakat untuk berpendapat, memang ada pepatah ’karena nila setitik, rusak susu sebelanga’, tapi walaupun demikian, susu adalah tetap susu dan nila adalah tetap nila, bukannya menjadi susu nila”
”Kemudian Kyai, bagaimana reaksi dari Dukun yang dikatakan asli?”
”Itu terserah mereka, karena toh akhirnya akan ketahuan mana yang sebenarnya! Oleh karena itu Nak, jangan hanya karena mendengar saja sudah menarik kesimpulan, tapi coba saksikan dan alamilah sendiri, baru berpendapat. Jangan mudah begitu saja percaya!”
”Apakah tidak sebaiknya Kyai menjelaskan dulu riwayat Dukun sebelum kita lanjutkan pembicaraan berikutnya?”. Sebelumnya Kyai memberitahukan, bahwa dirinya kebetulan dilahirkan di Kota Solo (Surakarta). Jadi sudah sewajarnya kalau sedikit banyak tahu tentang leluhurnya.
”Begini Nak, apa yang dikatakan secara turun temurun; Dulu tokoh masyarakat Kakek dan Nenek moyang kita itu adalah, Kyai (kalau Pria) dan Nyai (Kalau Wanita). Nenek moyang kita juga mengembangkan pengetahuannya,terutama untuk mengerti; Siapakah Dirinya? Asalnya? Tujuannya? Dan juga bagaimana cara mencapai tujuan akhirnya? Dan yang cukup mengerti dalam hal tersebut Kyai dan Nyai yang Wicaksono (=mengerti). Maka Kyai dan Nyai tahu; ’Sangkan Paraning Dumadi’ (=asal dan tujuan ciptaan). Dan sebagai tujuannya adalah; ’Manunggaling Kawulo Lan Gusti’ (=bersatunya manusia dengan Tuhan Allah) sehingg dapat dikatakan; ’Opo kang sinedyo teko, kang cinipto dadi (=Apa yang dikehendaki datang, dan yang diciptakan menjadi kenyataan). Kemudian Kyai dan Nyai yang karena keahliannya, mengambil spesialisasi, yang mengembangkan dalam bidang kesehatan disebut Dukun dan yang mengembangkan Tehnologi disebut Empu (selain ahli dalam pembuatan Keris, pusaka juga ahli dalam bidang kemasyarakatan maupun berbuat/meramal). Kita juga kenal misalnya; Kyai Bumi, Nyai Bumi, Kyai Wuruk, Kyai Sarib, Kyai Tunggulawulug, Empu Gandring, Empu Sedah, Empu Penuluh dan lain-lain.. dan hingga sekarang perjuangan tersebut masih banyak yang mewarisi dan mengembangkannya. Kyai dan Nyai sebelum jamannya Raja-Raja, dan jamannya Raja-Raja munculah sebutan Empu-Empu dan sekarang ini pula masih banyak yang disebut dukun. Ada pula yang menyebut orang wicaksono ini dengan istilah sekarang ’Orang Pinter’.”
”Apakah betul Kyai Ganjel termasuk Kyai yang disebutkan tadi?”
”Begini Nak, Kyai Ganjel sebetulnya belum pantas menyandang pridikat Kyai, tapi minimal Ganjel menginginkan dapat berfungsi sebagai Kyai, dan nama Kyai biarlah untuk mengenang dan menghormati tokoh leluhur kita!”
”Sampai dimana Kyai Ganjel dalam perjalanannya dan hasil-hasil apa yang telah dicapai selama ini?”
”Baiklah Nak, masalah ini kita bicarakan dalam sarasehan mendatang saja, kita kan baru membicarakan masalah Dukun?”
”Apakah mungkin Kyai, seorang Dukun dapat menyembuhkan pasiennya hanya dengan kata-kata saja, atau dengan air putih, bahkan ada yang disuruh minum air keras dan lain-lain.?”
”Itu mungkin sekali Nak, karena unsur kepercayaan dari si pasien juga pengan peranan dalam hal membantu penyembuhan ini. Bila pasien mempunyai kepercayaan yang kuat, maka cukuplah dengan kata-kata saja sudah sembuh. Bila si pasien cukup kuat kepercayaannya, dengan air putih saja sudah sembuh. Tapi ada pula yang kurang percaya, bahkan mencobai/coba-coba, maka untuk kesembuhannya itu perlu dibangkitkan dulu kepercayaannya dengan penampilan yang berwibawa. Menyajikan keanehan kepada pasien agar terheran-heran kemudian percaya, penyembuhan terjadi. Ada pula pasien diperintahkan untuk mencari air tujuh sumur yang mengambilnya tengah malam. Mengumpulkan dua belas macam bunga, dan masih disuruh nyepi di kuburan selam tiga kali hari jumat berturut-turut. Itu semua hanya untuk menguji, sejauh mana pasien patuh dan percaya kepada sang Dukun. Bila hal tersebut tidak dilaksanakan, itulah tanda pasien tidak percaya. Memang ada, yang semuannya itu betul-betul wangsit, yang harus dilaksanakan.”
”Apa Betul Kyai Gajel, bahwa paku, beling (=pecahan kaca), batu dan lain-lain, keluar dari perut?”
”Itu mungkin saja dapat terjadi Nak, karena dengan kemampuannya atau kesaktiannya seseorang dapat mengirimkan barang-barang tersebut langsung masuk ke perut tanpa diketahui si punya perut, apakah hal ini bukan saingan rudal jaman sekarang? Maka diambilah barang tersebut dari perut, pasien heran akan kehebatan si Dukun dan kemudian timbulah kepercayaan untuk sembuh, dan akhirnya sembuh betul. Tapi konyolnya, bila si Dukun kurang hebat dan pasien kurang percaya, maka terjadilah atraksi sulap, untung saja bila si pasien tidak mengetahui permainan sulapnya, si pasien heran dan percaya kemudian sembuh betul. Jadi kadang kala si pasien perlu di tipu, dengan maksud untuk membangkitkan kepercayaan. Tapi bila sulap tersebut ketahuan, betapa marah dan kecewanya si pasien, pasien tidak sembuh, dan berita penipuan oleh seorang dukun kesana kemari, ’dukun palsu!’. Secara prinsip penipuan tersebut masih dapat di tolerir, asal maksud tujuan permainan sulap tersebut betul-betul demi kesembuhan si pasien. Lain halnya dengan tipuan tersebut semata-mata diperuntukan demi popularitas si Dukun, sehingga dikenal hebat dan nantinya dapat mengeruk kekayaan pribadinya, dan dukun beginilah yang pantasnya dikatakan dukun kibul,”
’Dan bagaimana Kyai, dengan Dukun cabul?”
“Itu juga mungkin saja Nak, kadang kala untuk penyembuhan butuh pemeriksaan, tidak beda dengan dokter. Yang namanya Dukun juga manusia, kalau dukunnya pria dan pasiennya wanita, kadang kala perlu buka-buka pakaian segala, apalagi kalau tempatnya sunyi, mungkin sekali iman Dukun goyah, dan lupa pamornya sebagai dukun, sehingga sang dukun menjatuhkan diri ke pasien. Baik dengan paksaan ataupun kerelaan. Baru kemudian mereka menyadari, tapi waktu telah berlalu, bersamaan jatuhnya sang dukun tersebut jatuh pula martabat kedukunannya. Apakah hal ini tidak mungkin pula terjadi pada Dokter?
“Bagaiman dengan Dukun tenung/santet, Kyat Ganjel?”
”Inipun Mungkin juga Nak, tidakkah manusia dalam perjalanannya untuk kembali kepada Yang Maha Kuasa, perlu penyesuaian diri atas perbuatannya dengan sifat-sifat ilahi. Dalam perjalanan ini mendapatkan hasil sampingan berupa Kawicaksanaan, kemampuan/kesaktian/sidhi untuk menguasai mahluk hidup maupun alam semestanya. ’Donyo rinegem sagegem dadi’ (-Dunia digenggam, Segemggam Jadi). Maka tidaklah mengherankan bila paku, beling, batu dapat diperintahkan untuk pergi masuk keperut seseorang. Maka berapa bahayanya kalau pengertian dan kemampuan ini jatuh ke tangan orang yang belum pantas untuk menerimanya. Masalah ini besok kita bicarakan lagi”
”Kyai Ganjel, belakangan ini ada falsafah baru ’3D’, seperti halnya ’3L’ (=lutu, liti, lotong) yang artinya, Biar Kotor, njelek, tapi masih ada gunanya. Dan mengenai ’3D’ itu bagaimana, Kyai?”
”Itu falsafah jaman sekarang, untuk mencapai apa yang diinginkan dipergunakan senjata ’3D’. (Dulur, Duwit, Dukun, dalam bahasa Indonesianya, Dulur = Saudara, Duwit = Uang, Dukun = Dukun), penjelasannya demikian; Bila seseorang dengan wajar mempunyai keinginan, walaupun persyaratan lengkap toh tidak berhasil, maka digunakan senjata yang pertama Dulur, atau relasi, atau memanfaatkan fasilitas saudaranya. Bila senjata pertama gagal digunakan D yang kedua yaitu Uang. Disini uang yang pegang peranan sebagai alat pelicin, suap, atau untuk dibelikan hadiah yang dengan terpaksa untuk dihadiahkan kepada yang berkuasa. Bila senjata D kedua gagal, dipergunakan senjata D terakhir, yaitu Dukun. Dengan memanfaatkan kemampuan Dukun untuk mencapai cita-cita, cari dukun sana, dukun sini, mana yang lebih hebat. Bila dengan senjata D yang kesemuanya itu gagal, barulah dikatakan itu sudah nasibnya.
Sakarang memang banyak tokoh-tokoh masyarakat dengan atributnya bermacam-macam, walaupun melaksanakan praktek dukun tapi mereka tidak mau disebut dukun, takut kalau digebyah uyah (=disama ratakan). Tapi kalau atribut Kyai pada berebut, walaupun yang menyandang sebutan Kyai banyak yang belum pantas.
Dengan falsafah 3D tidak sedikit pula yang kena akibat sampingannya. Karena saudara atau relasinya, dapatlah meruntuhkan martabat dan jabatan seseorang. Demikian halnya dengan uang, tugas dan kewajiban dapat ditinggalkan kalau sudah tergila-gila dengan uang. Demikian pula bila sang dukun sudah memerintahkan, dan perintah ini biasanya lebih ditaati dari pada beribadat, maupun tugas-tugas yang seharusnya dilaksanakan?”
’Kenapa Kyai Ganjel, kalau orang pergi ke dukun biasanya secara sembunyi-sembunyi?”
’Ya itulah dikatakan Butuh, tapi malu. Mereka takut dikatakan percaya takhayul, klenik, dan lain-lain. Juga tidak sedikit pimpinan-pimpinan ibadatnya melarang, mungkin takut kalau pengikutnya banyak yang pindah’.
”Apakah Kyai Ganjel Juga berpraktek sebagai Dukun?”
”YA, Kisanak, kalau hal itu memang diperlukan.!”
”Baiklah Kyai, untuk sementara sarasehan kita akhiri dulu, besok-besok kita sambung lagi….” (J.L, SY)
Comments are closed.