oleh Tegoeh Kusuma Tkp pada 30 September 2010 jam 14:23
Cukup menggelikan, prihatin, mungkin jg miris, dimana falsafah hidup dlm kaweruh Jawa yg tertuang dlm serat para pujangga-intelektuaL Jawa, yg mana bahkan wong Jawa sendiri seringkali mengernyitkan dahi (entah heran, entah tidak tahu, entah emang blo’on) ketika menjumpai (membaca) juduL-tulisan-istilah kaweruh Jawa, misaL:
Sangkan Paraning Dumadi, Kalimosodo, Sastrojendro HayuningRat, Cokro ManggiLingan, Hamemayu Hayuning Bawono, Ngundhuh Wohing Panggawe, Manunggaling KawuLo Gusti, dsb.
Memang demikian ini tidaklah mengherankan, spt yg kerap kali terdengar bhw “wong Jowo ilang jawane, wis ora njawani”. Dan mungkin jg krn metode penyampaian kaweruh Jawa dgn cara gethok tular (sambung lidah) dari para pinisepuh Jawa kpd generasi berikut nya dgn cara seleksi yg unik, maka makin minim pula jumlah pribadi yg mengerti-memahami kaweruh Jawa dgn benar-baik-lurus dan sedjati. Bahkan yg lebih menggelikan adalah mereka yg belum tahu (apalagi mengerti) kaweruh Jawa dgn serta merta menuding kejawen adalah aliran spirituaL-kebathinan yg mengada-ada, tahayul, sesat, murtad, syirik, kafir dan konotasi nyeleneh lainnya. Namun eloknya, dgn bijak para praktisi ngeLmu kejaweN tidak tergesa2 (dan memang tidak perlu) utk merespon balik dgn tudingan: “idihhh, kacian deh, ternyata lu bLo’on banget ya !”.
NgeLmu kaweruh Jawa lain halnya dgn ilmu intelektuaL-sekuLer yg justru membuat muLurnya naLar yg bergerak pasif-defensive utk bertahan dlm ketakutan-kekuatiran akan kekurangan kebutuhan yg berevolusi menjadi keinginan: winasis (strata edukasi), kawiryan (jabatan/kedudukan/kekuasaan), arta-rojobrono (harta benda) yg identik berhampiran dgn harta-tahta-syahwat.
KaweruH Jawa dipahami sbg perilaku NgeLmu dan Lelaku. Ngelmu yg dimaksud bukanlah “iLmu” yg dilandasi cita-cita (pencapaian) pemenuhan kehendak intelektuaL, tp yg dimaksud ngeLmu justru tindakan mengendapkan keinginan-kehendak dgn bersikap heneng-hening memantapkan jiwa memimpin raga berbudi luhur, dgn aras tujuan ‘kesadaran bathin’ yg bukan terkondisikan oleh tuntutan hukum wajib halal-haram, meraih pahala takut dosa, atau pun mengkultuskan sosok manusia (mesias/nabi) maupun doktrin kitab yg dianggap suci. Agama dlm ranah kaweruh Jawa dipahami sbg ageming-aji (ageman/baju jubah raga spy dihargai/diakui).
Konflik kepentingan sosiaL – agama, tersirat dlm carakan (plesetan, tp gak sampai kepleset) HoNoCoRoKo.
*Hanacaraka; ada dua kutub kekuatan (kutub relijius/agama & kutub sekuLer/rasionaL).
*DatasawaLa; kedua kutub saling berebut kuasa kebenaran.
*Padhajayanya; keduanya memiliki dasar alasan yg kuat.
*Magabathanga; berkelanjutan konflik dgn perang-pertumpahan darah.
Perseteruan kedua kutub kekuatan itu, yakni: kutub relijius (AsiaDaratan-MiddleEast) dan kutub sekuLer Barat (Eropa-AmriK) menyebar hingga di bumi Nusantara, adalah aneh ketika Amrik dan Arab Saudi terlihat berangkulan mesra, namun konflik msh tumbuh subur di bumi Nusantara tercinta.
Penjajahan spirituaL thd pribumi Nusantara dimulai ketika para saudagar (India, Cina, Arab) dan bangsa Eropa bertamu dgn kedok misi perdagangan di bumi Nusantara yg pada akhirnya bangsa penjajah-imperialis Eropa dgn segala kekuatan nya mulai menyerang sisi spirituaL pribumi. Merekapun meluluhlantakkan locaL wisdom, dgn diawali menggolongkan status sosiaL dlm masyarakat:
-bangsa Eropa dipanggil dgn ‘ndoro tuan’ (tuan besar).
-bangsa Cina-Arab dipanggil ‘yuK’ dan ‘oyiK’ (tuan)
-bangsa pribumi dipanggiL ‘cung’ (kacung), bahkan yg lebih parah lg bangsa pribumi dilekatkan dgn sebutan sebagai Tukang ‘nyadhong-nggamblong-nyolong-nggarong’ (pengemis-penjilat-maling-rampok), dan tak sedikit pula yg dicap sbg extremist- pemberontak (lha wong tuan rumah kok memberontak, edan tenan !).
Terkait itu maka segala lelaku rituaL pribumi dianggap kelas rendahan, primitif, sesat, bersekutu dgn setan, dsb. Maka tak sedikit kaum pribumi yg memburu ‘ageming-aji’ utk sekedar lepas dr anggapan rendahan alias diakui lebih bermartabat.
Namun kesadaran spirituaL lokal/pribumi tetap bergerak dgn terus membuat karya sastra spirituaL, yg meski telah tercampur dgn budaya asing dalam berbagai aliran, a.L:
-pro Arab (memantapkan pengaruh agama bangsa Arab).
-yg samar melawan dgn halus (sanepan)
-sinergi pengaruh budaya India Cina Arab / Hindu Budha Islam.
-radikaL menyerang doktrin agama tertentu.
Hal ini sangat berpotensi menimbulkan konflik secara frontaL, maka khususnya di tanah Jawa para raja menyiasati dgn conflict management’, yaitu kebijakan menyeleksi-menyimpan karya sastra para pujangga yg dianggap ekstrim utk tidak dikonsumsi oleh masyarakat umum. Celakanya, kitab2 yg dianggap rahasia tsb banyak yg dihadiahkan (kalau tidak mau disebut: dirampok) kepada bangsa penjajah yg kemudian dipelajari oleh para intelektuaL Barat dicari titik lemah nya, yg pd akhirnya dijadikan senjata ampuh dgn menyebarkan karya sastra itu ke masyarakat umum demi utk memuluskan politik ‘devide et impera’… akibatnya sementara kaum pribumi sibuk berperang saling bunuh memperebutkan wilayah kebenaran ideologi, tidak menyadari bhw kekayaan alam bumi Nusantara digarong habis2an oleh para penjajah.
Bagaimanakah ngeLmu lelaku dlm pemahaman kaweruH Jawa ? para pelaku spirituaL-kebathinan seringkali salah kaprah dlm menyikapi lelaku olah bathin-tapabrata (tapa kungkum, sesirih, dsb) ataupun dgn mendatangi paranormaL yg diantaranya cenderung bermuatan motif pencapaian keduniawian (harta-tahta-syahwat), misaL:
-rejeki melimpah, mudah mencari pekerjaan
-terpilih dlm piLkada (caleg dprd, bupati)
-pecandu KKN spy bebas dr jerat hukum
-memburu harta karun di alam ghaib
-kadigdayan/kesaktian bisa menggandakan uang, atau ingin cepat kaya mendadak.
Kalopun ada yg berhasil dlm pencapaian perolehan harta benda, dlm kaweruh Jawa hal tsb bukanlah ngeLmu Urip yg sedjati, melainkan hal itu disebut ngeLmu Karang, yaitu mendapat kekuatan dr ber-karang (bersekutu) dgn bangsa ghaib (bahasa gaulnya: bersekutu dgn ibLis). Ngelmu Karang ibarat memakai bedak (riasan-polesan sementara) yg hanyalah tipuan/kepalsuan duniawi bagi mereka yg sepakat ingin berhasil dgn cara mudah dan instant, mengabaikan resiko/akibat dlm kehidupan selanjutnya (ngundhuh wohing panggawe). Adapula yg mengejar kadigdayan dgn memaksa/menyiksa raga dgn berbagai lelaku rituaL untuk mendapatkan kekuatan (kesaktian-siddhi), yg terjadi ketika raga kembali normal maka kehendak ragawi pun menjerumuskan kepada perilaku angkara murka (munculnya praktisi paranormal komersiaL, penipu hingga dukun cabuL).
Istilah-istilah dlm kaweruh Jawa pun sering pula disalahartikan, bahkan dgn tuduhan sesat tanpa mengerti apa maksud-arti sebenarnya, misaL: kLenik (bisik-bisik), mistik (rahasia), dukun (tabib/dokter ahli kesehatan pengobatan), dll.
Falsafah hidup ber-kaweruh dan lelaku Jawa mengacu pada konsep keManunggaLan. Setiap wedharan dlm pakerti-piwuLang Jawa selalu tertuju pada keManunggaLan, dengan menggelar- mengamati hakikat hidup (sejatining urip) bukan sekedar pengamatan siklus keberadaan ragawi manusia (lahir-anak2-dewasa-berkeluarga-berketurunan-menafkahi mengasuh anak- mati). Lebih dari itu dlm kaweruh Jawa dituntun utk bgmn menjalani hidup dgn sempurna (ngeLmu kasampurnan-manungso asline sedjati) dgn tekun dan setia meningkatkan kaweruh dan lelaku (ngeLmu Urip) utk menyadari adanya diri sbg utusan (HaNa-hananira wahananing hyang) yg dianugerahi (CaRaKa- Cipta RasaKarsa) NYA yg meresap dlm sanubari menjadi watak kepribadian yg mencakup: ‘pengetahuan-sikap-kemampuan-bakat/kecerdasan-kebiasaan’ bertujuan semata mata hanya untuk menjaga keselarasan-keseimbangan-keselamatan alam semesta (memayu hayuning bawono).
Dasar Kaweruh dan Lelaku Jawa adalah ManunggaLing KawuLo lan Gusti, yg menuntun kepada:
1. Kesadaran Sesembahan (relijius)
2. Kesadaran Semesta (kosmis-magis)
3. Kesadaran kaUtaman (keberadaban).
Ketiganya merupakan pengertian yg tak terpisahkan/kesatuan yg wajib berjalan seiring sejalan dlm kemanunggaLan.
Kesadaran relijius (sesembahan) mengarah kepada pengertian kesadaran yg menyembah-disembah (anebut-sinebut), sadar akan arah tujuan sbg titah-utusan (sangkan paraning dumadi). Analogi utk pendekatan pengertian sang Pencipta (Suksma Kawekas, Guruning Ngadadi), disebut dgn Gusti (Baguse Ati) yg pada prinsipnya Gusti iku tan keno kinoyo opo nanging ono (tak terumpamakan seperti apa-bagaimana, tp ada, that’s it).
*Gusti Pangeran jumenenge urip pribadi kang sedjati; keberadaan Hidup adalah manunggal kawuLo dgn sesembahan (Gusti) dzat yg mutlak-absolut, suwung-abadi-tanpa papan tanpo keblat tanpa wujud tanpa warna, tak berbau rasa suara, tak ber-gender.
*Keberadaan Gusti; Ingsun tanpa awal-akhir, adanya cahaya-rahsanIngsun-suksma-angan2-budi-warana(tabir).
*Wahananing (tempat) Gusti; Ingsun yg anartani warna-nama-pakarti (dzat-sifat-asma-afngaL).
*Karsa-Kuwasa Gusti: dlm wadag (raga) manusia-budi-angan2-suksma (nyawa)-cipta (nalar)-cahya. manusia rahsanIngsun meliputi unsur semesta (api-air-angin-tanah).
*Cipta Gusti: Ingsun dlm rahsa (darah)-suksma-angan(kehendak)-budi-cipta-manik (pramana)- otak – kepala.
*Rasa Gusti: Ingsun dlm rahsa-suksma-angan-budi-hati/jantung (peRasa-an) – dada.
*Alam benih manusia; Ingsun dlm rahsa-manikem-wadi-madi-reta (sperma)-purana (testis) – baga (kantung testis).
*Wujud Manusia yg bersaksi sbg bagian dari Semesta (bumi langit dan seisinya) yg disadari diyakini bahwa Semesta sebagai sanak saudara dalam kesatuan kesadaran semesta (kosmis-magis).
Setiap kelahiran manusia, dlm kaweruh Jawa dipahami adanya kadang aLus (saudara ghaib), yaitu;
1. Kadang Marmati: rasa kuatir (samar-mati) sang ibu dlm proses melahirkan jabang bayi. Pengertiannya hubungan kemanunggalan lahir bathin antara ibu dan anak.
2. SeduLur Papat: kakang Kawah (ketuban)-adi Ari2- Rahsa (getih) – Puser. Pengertiannya sbg tali-ghaib (penghubung) kemanunggalan kesadaran kosmis-magis, juga kesatuan dr inti-plasma (sedulur papat sbg plasma, inti (pancer) nya Ingsun sedjati.
3. Sedulur Dina Lair (bersamaan dgn hari lahir); setiap titah (ciptaan) bersamaan waktu kelahiran. Pengertiannya kemanunggalan dgn kesadaran semesta (kosmis-magis) yaitu manunggaL dgn segala keberadaan/eksistensi apapun-siapapun.
Bgmn kah cara dan dgn sarana apakah petunjuk (sastra) piwulang itu disampaikan kepada setiap pribadi, dlm kaweruH Jawa dikenal dgn apa yg disebut Sastro Urip (petunjuk hidup), antara lain:
1. sastro Rancang: meliputi setiap ciptaan (titah)
2. sastro Swarawangsit: suara hewan/burung (angling darmo – darma pengingat) sbg sabda sang Hyang.
3. sastro Swarasandi: suara/wisik dlm semedi (meditasi), daya tangkap (pencerapan) masing2 manusia tergantung dari tingkatan pramayoga nya.
4. sastro Arja ayuningrat: tak tertulis, berwujud ciptaan/titah (kitab basah).
5. sastro Endraprawita: ekspresi dr pikiran ragawi (kitab kering), spt misal karya sastra pujangga-ahli kitab, kitab/buku deskripsi ttg spirituaL, filosofi & etika, poleksosbud, primbon-literatur seni, tata bahasa/kesusastraan.
Lelaku (rituaL) dalam kaweruH Jawa dipahami antara lain:
-Waktu laku budaya rituaL dgn dasar perhitungan Weton & Wuku; bermakna pemilahan kesadaran kosmis-magis semesta, mensinergikan aura magis pribadi manusia dgn semesta. spt: ruwat-kidungan, dsb.
-Sesaji, SesiriH, Semedi; bermakna melatih meningkatkan daya Hidup utk melakukan tugas sbg utusan dgn benar baik lurus, menyatukan aura-magis manusia dan aura-magis semesta.
-Mantra : mirip tp tak sama dgn do’a. Do’a lebih kepada permintaan/permohonan, sedangkan Mantra dimaknai sbg sarana komunikasi refleksi persembahan kepasrahan (sumeleh) diri manusia secara totaL kepada daya keiLahian manusia itu sendiri. Daya keilahian (daya linuwih) tiap manusia berbeda dlm melakukan mantra, yakni tergantung dr tingkat pencerahan (wahyu dyatmiko) dalam cipta rasa karsa Gusti yg disebut prana (kekuatan mantra) hingga mahaprana (sabdo pandhito ratu) yg mutlak tetap bertujuan manunggaL dlm keselamatan.
Adapun rahasia kekuatan mantra: “durung wenang amemujo yen durung anglampahi tapabrata”.
Utk melatih tapabrata, dlm kaweruh Jawa ada dikenal dgn pancabrata, yaitu:
-cegaH Dahar / Puasa: tidak bermuatan motif sorga neraka pahala dosa, tp melatih rasa Narimo (disikapi dgn makan enak dlm jiwa raga, apapun menu berbuka).
-cegaH Nendro (mengurangi tidur): melatih selalu mengingat sejatinya hidup sbg manusia, tp bkn dgn begadang di pub atau discotheque alias dugem).
-cegaH Guling (mengurangi senggama): menyadari anugrah rasa sedjati nikmat kamulyan dlm pakerti penciptaan manusia, bukan sekedar memburu kepuasan birahi.
-cegaH dur Angkara: melatih sabar dgn mengendalikan amarah, membangun rasa kasih, berbagi sukacita terhadap sesama.
-tapa Bisu: melatih sumeleh/kepasrahan, melatih pengamatan pergerakan pikir perasaan dan kehendak ragawi, utk tunduk patuh kepada sabdo dhawuh.
Banyak lg macam-metede lelaku olah bathin dlm tapabrata, misal tapa kungkum, tapa ngeLi yg disertai puasa.
Juga tersirat dlm serat Wedhatama: “sopo entuk wahyuning Gusti Pangeran,
gyo dumilah mangulang ngelmu bangkit,
bangkit mikat reh mangukut,
kukutane jiwanggo,
sing mangkono keno sinebut wong sepuh,liring sepuh sepi howo awas loroning atunggiL”. Japamantra dlm pudjosemedi, bukan sekedar hafalan/ bunyi dlm ucapan, namun sejatinya mantra bermakna refleksi dari cahaya pribadi (kesungguhan tapabrata) sbg tanda keberadaan kuasa Gusti, terpancar dr lelaku-disiplin raga (meditasi) yg kanugrahan sih pangapuraning Gusti (jumeneng nugroho kanugrahan), manunggal tanpa batas (tanpo wewangenan) bahkan urat leher sekalipun.
Dalam proses Lelaku kaweruh Jawa, selalu sadar eling waspada utk tetap berada dalam tujuan kemanunggaLan-perilaku yg berbudi luhur, menciptakan keselarasan yg toto-tentrem-kerto-rahardjo (tertib-damai-makmur-sejahtera), dimuLai dari diri pribadi – keluarga hingga keberadaan yg tak terbatas dlm semesta, dan selalu diingatkan utk tidak intervensi terhadap kesadaran spirituaL di luar diri pribadi.
Meskipun pada diri manusia terdapat unsur kemuliaan-keilahian, namun dlm lelaku ngelmu kasampurnan (menuntaskan tugas sbg utusan dgn sempurna; mengembalikan ketiga unsur kesadaran dlm konsep kemanunggalan) seringkali tercampur/terkendala oleh unsur kekotoran manusia sendiri: karobanan-kahewanan-kasetanan-kamanungsan (kaLimasada) yg mana hal ini diyakini akan menyesatkan perjalanan sejatining urip (suksma sedjati) manusia setelah nyawa pisah raga, alih alih akan terjebak di alam pangrantuwan (penasaran)- alam lelembut- alam sato kewan- alam dhanyang.
Maka pelaku ngeLmu Jawa menyadari demikian pentingnya tapabrata utk meruwat unsur ke-ilahian. (Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diyu) utk kembali kepada Jalan Keselamatan sejatining Urip.
Seyogyanya titah-manungso selalu sadar eling waspada, manunggal dalam keberadaan apapun-siapapun, nyawidji nyadhong sih pangapuraning Gusti, hanebar gondo arum sukobungah sih katresnan, lilo legowo gedhe pangapuro marang sa’podho2, sumeleh-sumarah marang jantraning pepesthi.
CiPTO kawuLo: mati sajroning urip
Playune ROSO: amemangun karyenaktyas ing sesami
Lakune ROGO: hamemayu hayuning bawono
Turune wong Jowo: pudjosemedi.
(bilih wonten ala-kirangipun…sumonggo dipun jangkepi.
bilih manggihi luput-lepating atur kawulo, kepareng paduko kerso paring pitulungan mawi nyebuL klilip saklebeting paningaL kawuLo).
saLim sih katresnan kawiludjengan.
saLam sejatining sedjati.
±±±±±±±±±±±±±±±±
sumber: keSATUan dr berbagai sumber.
SoendaKelapa, Sept/30/2010.