ÉLING lan WASPADA
Sebuah tulisan persembahan dari seorang sahabat seperjalanan Bapak Ngestoe Rahardjo.
Terima Kasih Bapak Ngestoe Rahardjo, semoga senantiasa dalam keadaan sehat dan tercerahkan.
Dalam menjalani hidup dan kehidupan dalam berbagai aspeknya, seringkali kita temukan nasehat atau petunjuk-petunjuk sederhana dari para orangtua kita amat bermanfaat. Di dalam ajaran agama manapun juga, kita diajari untuk menghormati dan berbakti kepada orangtua dan para leluhur. Salahsatu cara (mungkin yang paling utama) untuk menghormati beliau adalah dengan mengamalkan petunjuk dan nasehatnya, serta menjadikannya tuntunan didalam menjalani samudera kehidupan ini. Secara pribadi saya pernah menganggap nasehat-nasehat beliau sesuatu yang kuno dan tidak relevan lagi dengan tuntutan jaman; walaupun dalam batas-batas tertentu dan hal-hal khusus anggapan serupa ada juga benarnya, namun amat banyak nasehat-nasehat yang tetap relevan sepanjang masa. Salah satunya adalah “untuk senantiasa éling lan waspada“, dalam setiap gerak langkah kita. Nasehat ini ternyata senantiasa relevan didalam menjalani hidup dan mengarungi samudra kehidupan.
Untuk dapat senantiasa éling, ternyata tak semudah yang kita bayangkan sebelumnya. Éling dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan ‘sadar’. Manusia yang telah sadar tentu beretika (susila), bertatakrama, tidak sembrono, memahami dan senantiasa ingat pada ajaran serta mengimplementasikan nya dalam kehidupannya sehari-hari. Manusia seperti itu tentu tidak akan menyakiti manusia (makhluk lainnya) melalui pikiran, ucapan atau tindakan (ahimsa).
Sebagai manusia yang dianugrahi pikiran (manah), ia juga akan menggunakan manahnya sebaik mungkin untuk hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, maupun masyarakat sekitarnya atau siapapun juga yang membutuhkan konstribusi maupun partisipasinya. Ia amat memahami keterbatasan dan kekurangannya, sehingga secara positif ia akan berupaya sekemampuannya meningkatkan dan berbenah diri kedalam. Ia juga mengetahui bahwa semua pencapaian mesti diupayakan secara mandiri, oleh karena sebagai manusia kita mengemban kewajiban seperti itu. Iapun menghargai makhluk lain sesama penghuni alam ini, seperti juga ia menghargai dan menyayangi dirinya. Bagi manusia sejati, nilai-nilai kemanusiaan tentu tak asing lagi dalam segala aspek kehidupannya. Singkatnya ia yang ‘éling’ adalah manusia sejati dalam artian keluar dan kedalam.
Sang Aji Angling Dharma, adalah personifikasi imajiner dari pribadi manusia sejati ini. Mithologi Nusantara ini, sudah tidak banyak lagi didengar maupun diperdengarkan lagi bagi generasi muda kita. Sebetunya banyak mithos yang bernilai ajaran yang tinggi yang kita warisi dari para leluhur, akan tetapi bagi yang merasa sudah cukup pintar, merasa rendah untuk mengacu pada sesuatu yang kuno apalagi sepintas terdengar seperti ceritra tahyul belaka.
Keangkuhan intelektual serupa ini telah membutakan mata hati kita, seperti juga keserakahan dan kebencian. Keangkuhan sebetulnya manivestasi halus, turunan dari kebingungan/ kemabukan batin (moha). Manakala kita tidak waspada, sanma artinya dengan memberi kesempatan emas kepada para musuh (ripu dan timira serta kelésa) kita untuk menerkam, menggilas dan menguasai kita. Menjadi mangsa dari para musuh tersebut, berarti bencana besar bagi umat beragama, oleh karena justru dengan beragama semestinya kita tidak sedemikian cerobohnya.
Kewaspadaan batin (yang dibicarakan disini) bukanlah kewaspadaan indriawi. Bahkan lebih jauh lagi, ia juga mengandung arti mewaspadai dorongan nafsu indryawi. Bagi yang terlatih, telah mengorbankan banyak kepentingan jasmaniah dan keduniaannya untuk berhasil membiasakan diri ‘senantiasa waspada’. Bagi yang ceroboh, tersedia beberapa metode untuk mengentaskan kecerobohannya itu. Untuk dapat lebih memahami arti dari ke-waspada-an, marilah kita pahami dahulu apa itu batin. Sankhya-Darshanaº mengajari kita tentang anatomi dari manusia secara lahir dan batin, secara teoritis aliran filasafat ini cukup ruwet bagi umat awam.
Penjabaran praktis yang langsung bisa kita rasakan, disajikan dalam Buddhisme. Oleh karena Buddhisme lahir jauh belakangan dari Maharsi Çri Kapilamuni dan Maharsi Patanjali, maka secara tidak langsung rumusan dalam konsep-konsep buddhistik banyak kesamaannya secara metodis dengan Sankhya-Yoga¹ .
Batin, menurut Buddhisme, tersusun dari 4 proponen, yang secara berturut-turut dari luar ke dalam adalah:
1. perasaan,
2. pikiran,
3. persepsi, dan
4. kesadaran.
Bersama-sama dengan jasmani, mereka disebut dengan Panca Khanda. Secara hierarkis kesadaran adalah puncaknya, kemudian tergantung kebiasaan seseorang, kemudian disusul oleh persepsi, pikiran dan perasaan. Walaupun sebetulnya ia bertahap sedemikian rupa didalam prosesnya, namun saking cepatnya kita tak mampu mendeteksinya dan seolah-olah itu terjadi secara bersamaan dan otomatis.
Kembali ditekankan bahwa, kebiasaan seseorang dalam memproses suatu stimulus (rangsangan) yang ia terima melalui gerbang indrianya, amat menentukan bekerjanya ketiga aspek mental tersebut.
Sebagai contoh adalah fenomena batin Anda sendiri saat membaca tulisan ini, dimana salah satu kemungkinannya adalah:
* Anda melihat bentuk bentuk huruf menggunakan mata (indria pengelihatan) ,
* persepsi itu disampaikan pada perasaan,
* perasaan menilai apakah hurufnya jelas atau cukup terang cahaya yang ada untuk membacanya,
* setelah Anda merasa dapat membaca dengan baik, mulai menggunakan pikiran untuk menangkap makna dari tulisan atau maksud dari penulisannya,
* mungkin Anda berpikir beberapa saat dan menyimpulkan “omong kosong!”
Demikianlah kurang lebih kronologi singkatnya, serta aspek mental dan jasmani yang terlibat, ketika Anda membaca tulisan ini. Semuanya itu seolah-olah otomatis. Bahkan mungkin saja diantara Anda ada yang belum sempat menggunakan pikirannya, langsung memutuskan melalui persepsi dan perasaan saja.
Jadi, sesuai kebiasaan kita didalam memproses rangsangan yang masuk melalui indria, kesimpulan masing-masing orangpun berbeda-beda. Mungkin diantara Anda ada berpikir begini: “Ngapain sih orang ini ruwet amat, dan membuang-buang waktu untuk menganalisa proses seperti itu?” Benar, ungkapan seperti itu dapat dimaklumi, karena kita beranggapan bahwa itu semua berlangsung secara otomatis, oleh karenanya tak perlu dipusingkan. Namun dari sisi lain, apabila kita cermati secara lebih seksama, secara tidak sengaja kita telah ‘mewaspadai bekerja aspek mental yang terlibat didalamnya’. Disinilah tersebunyi salah satu rahasia dari Meditasi Buddhis, yang disebut Sati Pattana³. Mewaspadai!; itulah kunci dari mempertahankan kesadaran kita agar tak mudah diseret dan diombang-ambingkan oleh indrya dan perasaan serta persepsi kita yang amat terbatas.
Disini kita sedikit sekali melibatkan teori-teori yang seram-seram, yang lebih bersifat menakutkan ketimbang menuntun kita pada Sadhana yang benar. Apabila seorang Sadhaka tidak dibekali tekad yang cukup kuat, maka baru mendengar aturan dan teorinya saja sudah mengurungkan niatnya untuk berlatih, bukan? Lantas apa manfaat pengajaran (pengajian) serupa itu? Apa hanya untuk unjuk kepintaran dan menakut-nakuti mereka yang awam? Tentu bukan demikian tujuannya. Akan tetapi sayangnya ada pihak-pihak yang cenderung (tanpa disadari) telah menakut-nakuti mereka yang awam.
Coba saja Anda ingat-ingat ketika Anda mengikuti suatu Dharma-Wacana; isinya hanyalah berupa kutipan-kutipan dari kitab suci yang dirangkai oleh sang orator dengan indah dan seakan itu omongannya itu yang keluar dari lubuk hatinya. Padahal kita tahu semua itu hanyalah hafalan dimulut saja, berdasarkan apa yang pernah ia baca, dengar, atau pelajari. Amat jarang (kalau tidak dikatakan langka) bila ada pembicara dalam suatu Dharma-Wacana yang menyuarakan kata batinnya; kenapa? Oleh karena ia sendiri tak pernah membaca dan mencermatinya, lantas bila demikian apa yang mesti ia utarakan? Tentu saja hanya pengulangan- pengulangan dari apa yang pernah ia baca atau dengar. Bila demikian halnya, apabedanya orator tersebut dengan kaset rekaman. Maaf, bukan maksud saya memojokkan siapapun juga disini, saya hanya mencoba mengungkap apa yang sebenarnya terjadi didalam batin kita dalam prosesnya menerima suatu rangsangan luar.
Bilamana kita cermati lebih jauh lagi, kita seringkali merasa enggan untuk memikirkannya. Keengganan ini sebetulnya suatu kebiasaan buruk kita, yang merupakan musuh dalam selimut didalam batin kita. Sulit sedikit saja, kita telah merasa enggan melakukannya; atau menunggu sedikit lama kita sudah tak sabar; kita telah terbiasa dengan sesuatu yang instant dan kebiasaan ini membuat kita enggan dan mau dimanja dengan cara seperti itu saja. Dalam hal menelusuri fenomena batin sendiri secara proaktif, kita mesti buang jauh-jauh kebiasaan serupa itu. Kebiasaan itu akan menjadi hambatan yang amat berarti didalam menjalani Sadhana.
Untuk menjaga kesadaran sedemikian rupa, dalam Ashtanga Yoga diajarkan metode pengaturan dan perhatian pada gerak nafas kita (pranayama). Jadi, dalam hal ini nafas merupakan pegangan (pengancan dalam bhs.Bali)⁴. Dengan mengatur nafas, pikiran kita tak sempat lari kesana kemari, apalagi ngelatur.
Mungkin uraian ini sendiri yang tampak loncat-loncat; dari meditasi buddhis ke yoga dan seterusnya. Secara teoritis, memang benar demikian; akan tetapi dalam prakteknya, ternyata banyak sekali persamaannya, cuma sebutan yang digunakan saja yang berbeda. Hal ini tentu dapat dimaklumi oleh karena Yoga menggunakan bahasa Sanskerta sebagai bahasa pengantar, sedangkan Meditasi Buddhis menggunakan Bahasa Pali (bukan Bali). Memang ada aliran yang dikelompokan dalam Mahayana juga menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Sanskerta, seperti Tantrayana dan Vajrayana (Tibet), Chant (China) dan Zen (Jepang) bahkan menggunakan bahasa setempat. Thailand, Burma dan Srilangka misalnya, memperkenalkan versinya sendiri-sendiri, walaupun pada dasarnya berakar pada sumber yang sama.
Di dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan⁵, misalnya, disinggung metode meditasi/yoga yang khas Nusantara. Banyak yang berpendapat bahwa kitab suci tersebut ditulis di Jawa-Tengah sejaman dengan dibangunnya Borobudur. Ada pula yang memperkirakan sesudahnya, yakni sekitar tahun 925-950 M.⁶; bahkan ada yang berpendapat bahwa ia ditulis jauh sebelum Borobudur dibangun, yakni dijaman Kalingga dimana hidup seorang Guru Buddhisme aliran Hinayana, yang bernama Jhañañabhadra (Jhanavajra) yang hidup sekitar tahun 660-an. Pendapat terakhir cukup beralasan, mengingat adanya catatan Tiongkok yang menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 664 M ⁷, Hui Neng (Hwi Ning) berguru pada Jhanavajra selama 4 tahun. Hui Neng sendiri, dikenal sebagai salah seorang Guru (patriakh) dari aliran Zen-Buddhisme Jepang, yang berasal dari China.
Apabila demikian faktanya, maka sebenarnya kita sebagai pewaris Budaya Nusantara Asli, telah diwarisi metode orisinil hasil olahan para leluhur kita. Manakala kita menyadari apa yang telah kita warisi sebagai generasi penerus ajaran, yang pada suatu ketika pernah berjaya selama lebih dari 1500 tahun, kita merasa bodoh bila mesti mencari-cari metode baru dari luar sana untuk digunakan didalam sadhana. Tattwa-Jñana, Wrehaspati-Tattwa, Ganapati-Tattwa, misalnya, adalah pustaka-pustaka ajaran yang luhur dan bermutu tinggi, hasil produksi dalam-negri. Bilamana kita mengetahui, mempelajarinya dengan baik hingga memperoleh pemahaman lengkap dan menyeluruh daripadanya, rasanya tak perlu lagi aliran/metode impor manapun di bumi Nusantara ini. Sayangnya, tak banyak lagi yang benar-benar menekuninya serta dapat membahasakannya dalam bahasa populer yang pas di telinga generasi masa kini.
Upaya menerjemahkannya kedalam bahasa Indonesia, sudah jauh lebih baik dibanding kita yang mengetahui keberadaannya saja tidak. Kemasan produk impor telah membutakan mata kita akan kekayaan budaya dan ajaran bangsa sendiri. Sebagai akibatnya, kita menjadi bulan-bulanan berbagai bisnis yang terkait dengan wisata spiritual ke berbagai negri. Rasanya tidaklah terlampau berlebihan bila hal ini disesalkan.
Sebagai bagian akhir tulisan ini, kembali saya pesankan untuk ‘senantiasa éling lan waspada’.
Semoga batin kita semua diterangi oleh Cahaya Suci Yang Maha Menerangi.
Denpasar, 17 April 1999.
____________ _________ ______
Catatan:
¹ Filsafat Sankhya dicetuskan oleh Maharsi Çri Kapilamuni, yang juga dianggap sebagai Awatara Brahma.
² bahkan Swami VivekanAnda berpendapat bahwa Buddhisme adalah penyempurnaan dari Hinduisme. Lebih jauh beliau pernah menyatakan bahwa Sang Buddha Sakyamuni adalah seorang Karma-Yogi yang paling berhasil sepanjang sejarah peradaban manusia.
³ ada beberapa metode lain, Sati Pattana sendiri telah dikembangkan dan disederhanakan dalam berbagai versi, antara lain yang banyak kita temui di Indonesia adalah versi dari Thailand, Burma atau Srilangka.
⁴ dalam meditasi buddhis, metode serupa ini disebut Anapanasati; namun antara Pranayama dan Anapanasati terdapat perbedaan yang amat menjolok dalam sikap batin saat melakukannya.
⁵ secara resmi dianggap kitab suci oleh Departemen Agama R.I., yang di dokumentasikan dan diterjemahkan oleh Tim Penterjemah Kitab-kitab Suci Hindu dan Buddha pada tahun 1979. Ia juga dianggap oleh beberapa pihak mewakili Tantrayana versi Nusantara.
⁶ Dr. John Miksic; Ancient History-Indonesian Heritage-1; Didier Millet Editions-Singapore for Grolier International Inc.-USA; 1996
⁷ Prof.DR.R. Soekmono; Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia-2; Penerbit Kanisius -Yogyakarta, 1973.
Comments are closed.