Riwayat Hidup Joko Lelono Trihargono
Joko Lelono Trihargono (ꦗꦏꦊꦭꦤꦠꦿꦶꦲꦂꦒꦤ) yang berarti Lelaki yang mengembara tiga gunung, lahir di Solo 2 september 1949, merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Menikah pada tanggal 18 Mei 1974,LAHIR DARI KELUARGA YANG MEMPUNYAI KEMAMPUAN SPIRITUAL, BAIK DARI AYAHNYA MAUPUN KAKEK-KAKEKNYA. BAHKAN KONON ADA KAKEKNYA YANG MOKSA. Istrinya bernama Swatiningsih yang lahir pada tanggal 2 Januari 1950.
Dikaruniai Putra Pertama bernama Ragi Sangkala lahir pada 4 Februari 1981 di Bandung. Kedua Reta Widiningsih tanggal 11 Mei 1985 di Bandung. Ketiga Ruci Palupi lahir tanggal 23 Februari 1987 di Bandung. Keempat Astri Maharddhika lahir tanggal 28 Januari 1990 di Bandung.
SAAT USIA 11TAHUN, PAK JOKO MULAI ADA KEINGINAN UNTUK MEMPELAJARI TENTANG SPIRITUALITAS JAWA. KEBETULAN, REKAN AYAH PAK JOKO YAITU BPK SUWAHYO JUGA MENDALAMI HAL TERSEBUT, SEHINGGA PAK JOKO MULAI BERTANYA DAN INGIN MENGETAHU/MENDALAMI, DAN ANEHNYA….PAK JOKO SANGAT YAKIN DIUSIA ITU……BAHWA AJARAN SPRIRITUAL JAWA YANG ASLI ITU SEPERTI YANG DIBAWA OLEH PAK WAHYO SELALU MEMINTA ..NAMUN PAK WAHYO BELUM MEMBERIKANNYA……DAN HANYA MENYAMPAIKAN….TUNGGU SAJA NANTI….
Bapak Joko mengenyam pendidikan di SD Pangudi Luhur Solo, SMP di Kanisius Solo, SMA di St. Yosep Solo, Bekerja di harian umum Suara Karya dan pensiun 1997. Waktu kecil Bapak Joko Lelono suka makan singkong goreng.
PENANTIAN SELAMA 18 TAHUN AKHIRNYA DIPEROLEH JUGA….TAHUN 1979 PAK JOKO & BU JOKO MENDAPATKAN ISI PATEN DARI PAK WAHYO……. TAHUN 80-AN PAK JOKO MULAI DIKENAL DIKALANGAN KELOMPOK-KELOMPOK SPIRITUAL……. DAN MULAILAH BANYAK ORANG BERKUMPUL DI CIBOLERANG UNTUK SEKEDAR TAHU TENTANG UNDIAN (JAMAN ITU PORKAS) DAN YANG MAU MENGENAL TENTANG SPIRITUALITAS JAWA.
Nama Gantharwa adalah nama kelompok dan nama panggilan bagi seluruh keluarga gantharwa. Nama gantharwa diperoleh Pak Joko, dari tidur, setengah tidur sampai bangun nama tersebut terdengar jelas ditelinga Pak Joko, sehingga saat ini menjadi nama keluarga Gantharwa.
DARI YANG SEKEDAR NGUMPUL SEMAKIN LAMA-YANG NGUMPUL SEMAKIN BANYAK DAN AKHIRNYA DISEPAKATI UNTUK MEMBUAT RUANGAN YANG BISA MENAMPUNG KUMPULAN ORANG TERSEBUT. AKHIRNYA SEKITAR TAHUN 1995 DIBANGUNLAH BANGUNAN DENGAN GOTONG –ROYONG , TUKANG ADUK SEMEN, TUKANG TEMBOK PUN ADALAH PARA MAHASISWA/SARJANA YANG BELAJAR DI GANTHARWA
SEKITAR JULI’96 RUANGAN TERSEBUT SUDAH SELESAI….MULAI DIGUNAKAN UNTUK BELAJAR…… SEMAKIN HARI..SEMAKIN BERTAMBAH …YANG BELAJAR PUN DARI KALANGAN MAHASISWA SAMPAI ADA YANG SATU KELUARGA PUN IKUT SERTA.
Kegiatannya adalah Merasul, mengajak mereka lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan bisa melayani sesama, hal ini di wujudkan dengan adanya sarasehan dirumahnya, yang kebanyakan anak-anak muda, mahasiswa, dan juga ada orang tua.
Dalam dunia Mistik Kejawen, orang-orang mengenal beliau dengan sebutan Kyai Ganjel. Dan beliau juga mendapat “Nama Panggilan” dalam hidup ini dari Gusti sebagai Kadhang Sampoerna Raja.
Panggilan Kyai Ganjel
Sebenarnya siapa sih Kiai Ganjel itu? Mari kita lihat siapa yang menanyakan, itu akan menjawab siapa Dia: 1. jika ada yang bertanya kepadanya, maka yang berasal dari dirinya akan menjawab: ”SAYALAH YANG MENYENTUH” 2. Jika orang lain yang bertanya, siapa dia, maka jawaban yang berasal menurut ‘kata mereka’ adalah ”DIALAH RAJA JAWA” 3. kalau ALLAH memanggil dia adalah ”KADANG SAMPOERNA RAJA”
inti semua ini memang sudah menjadi kemauan dan cita-cita dari Kiai Ganjel, namun pertanyaannya adalah kok bisa jadi begitu (yaitu dapat gelar atau panggilan yang begitu hebat)? Allah itu adil adanya, maka setiap manusia diberikan kesempatan yang sama. Tapi kesempatan yang diberikan Allah yang berhasil di mengerti dan menanggapi (tentunya dengan kecerdikan yaitu sensitif dan reaktif dengan semangat lebih), itulah yang membedakan level manusia itu sendiri.
Jadi bagaiman anda mengenal Allah secara utuh: ”KENALILAH ALLAH SEJAUH MANA ALLAH MEMPERKENALKAN DIRI, SEJAUH AKU MENGENAL ALLAH, SEJAUH ITU AKU BERSIKAP, .SEJAUH AKU BERSIKAP SEJAUH ITULAH KEBERADAANKU DI HADAPAN ALLAH”
Hal yang harus diingat juga adalah: ”Gusti Allah Iku Tan Kena Kinaya Ngapa, Nangging Ana” (ꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦄꦭꦃꦲꦶꦏꦸꦠꦤ꧀ꦏꦼꦤꦏꦶꦤꦪꦔꦥꦤꦁꦔꦶꦁꦲꦤ)
Hingga akhir hayatnya, Beliau tetap menyemangati agar manusia selalu siap, apabila Tuhan memanggilnya pulang.