Perjalanan Wisata Spiritual 21 – 24 April 2011
Oleh: Kadang Pande Agus Indra
Mengambil kesempatan hari libur pada tanggal 22 April 2011, kami berencana untuk melakukan perjalanan wisata spiritual. Tanggal 21 April Pukul 20.00 diharapkan kami sudah berkumpul di lokasi pemberangkatan, namun seperti biasa, alam Jakarta yang macet apalagi menjelang akhir pekan dan hari libur, menjadikan waktu berangkat pun tertunda.
Kira-kira Pukul 22.00 akhirnya kami pun berangkat. Dengan rombongan 2 mobil dan peserta 10 orang, kami menyusuri Pantai Utara Jawa. Berangkat dengan penuh semangat, seperti menyambut pengalaman-pengalaman baru yang mungkin belum terpikirkan oleh kami. Namun lagi-lagi, ternyata Pantura macet juga… 🙁 . Jalan rusak dan perbaikan jembatan kebanyakan menjadi sumber kemacetan.
Hari Pertama, 22 April 2011
Pemalang
Akhirnya, walaupun tersendat-sendat akhirnya tibalah kami di tempat pertama tujuan kami, yaitu: Kediaman Bapak Imam Sudrajat. Pak Drajat menyambut kami dengan semangat dan penuh keterbukaan. Perjalanan yang panjang rasa terhempas begitu saja ketika disambut dan dijamu oleh Pak Drajat. Jajanan khas dan minuman teh hangat telah tersedia. Belum selesai kue tradisional disantap, sudah diajak kembali untuk menikmati sarapan pagi.
Menu yang dihidangkan juga khas kembali, sampai-sampai tidak tercatat namanya… 🙂 Maaf Pak Drajat, bisa diulang Pak namanya…? (Kalau tidak Salah Burung Puyuh Goreng. David)
Usai sarapan, kegiatannya bebas, ada yang tidur, ada yang main-main dengan komputer, ada yang berkeliling rumah Pak Drajat dan diberitahukan rencana perluasan sekolah-nya yang ternyata sangat membanggakan prestasi-nya hingga mendapatkan dana pengembangan sekolah dari Pemerintah. Sukses selalu ya Pak.
Sesi Yoga dibuka menjelang siang, 5 Gerakan Yoga yang walaupun terlihat sederhana ternyata dapat membakar lemak dan membuat keringat mengalir… Saling bergantian mencoba gerakan-gerakan tersebut, bahkan Pak Drajat pun turut serta memperlihatkan kemampuannya dan menambahkan uraian tentang Yoga.
Tak ketinggalan sebelumnya pun, Pak Drajat memperlihat koleksi album fotonya tentang Tokoh-tokoh Spiritual yang beliau kagumi. Monggo disharing Pak…
Makan siang kami diajak menikmati makanan khas Pemalang yaitu Lontong Tahu dilanjutkan dengan wisata ke Pantai Widuri, dikenalkan dengan istilah Pantai VIP dan VVIP :-). Selanjutnya mengunjungi Petilasan Pangeran Sembung Yudo.
Petilasan bila diartikan secara bebas adalah suatu tempat persinggahan dalam kurun waktu tertentu (waktu bisa pendek maupun cukup panjang), dengan maksud untuk meningkatkan kawruh atau membuat suatu koloni baru.
Sejarah mengenai Pangeran Sembung Yudo yang berhasil diperoleh adalah beliau adalah Pangeran yang kalah perang, sehingga kemudian mengasingkan diri bersama pasukannya untuk berlatih lebih giat lagi. Alih-alih peningkatan diri dalam bidang kanuragan ternyata beliau memperoleh Pencerahan. Beliau sudah tidak ingin melakukan perang kembali, namun karena tuntutan sebagai seorang ksatria beliau kembali berperang dan mencapai kemenangan. Setelah itu beliau pun kembali mengasingkan diri hingga akhirnya moksa (menjadi orang yang tidak di kenal asal usul awalnya. Dan cikal bakal pengembangan Pemalang. David)
Suasana di petilasan memang hening, karena jauh dari keramaian dan masih cukup rimbunnya pepohonan. Terlebih di tempat tersebut mengandung energi yang besar sehingga cocok bagi yang suka untuk melatih energi.
Yang sangat disayangkan ketika mengunjungi petilasan adalah kurang tersedianya prasarana yang memadai seperti tempat parkir yang seadanya. Dan tidak adanya petunjuk mengenai keberadaan petilasan tersebut.
Pekalongan
Setelah perjalanan di Pemalang dirasakan cukup, kamipun melanjutkan perjalanan ke arah Pekalongan bersama-sama dengan Pak Drajat. Kali ini tempat tujuan kami adalah kediaman Mas Edy Susanto – Pekalongan. Beliau ternyata memiliki bakat menulis yang luar biasa. Sudah 32 e-book menjadi karya beliau. E-book tersebut bahkan dapat diunduh secara gratis. Silahkan kunjungi situs Mas Edy di http://edypekalongan.blogspot.com.
Begitu tiba di Pekalongan kamipun disuguhkan dengan hidangan ketan yang memang sudah menjadi tradisi di Desa Sapuro. Kemudian kamipun diajak berkeliling Pekalongan, menyusuri daerah-daerah tua, lokasi bangunan-bangunan agama (Vihara, Gereja dan Masjid) yang berdekatan saling yang menandakan bahwa Pekalongan sudah memiliki kerukunan sejak dahulu. Bahkan Kota ini diibaratkan sudah selesai dibangun pada masa penjajahan belanda, karena tata kota dan saluran air terlihat rapi. Perjalanan diarahkan hingga ke Pantai Pasir Kencana.
Kepiawaian Mas Edy dalam menjelaskan sejarah Kota Pekalongan bahkan cerita-ceritanya membuat kami selalu mendengarkan dengan penuh rasa ingin tahu. Cocok sekali memang bila Mas Edy menjadi Humas 🙂 Saat tiba di Pantai pun hal pertama yang diungkapkan adalah betapa tenangnya ombak, hal yang tidak jarang terjadi biasanya. Ditambah ketika mencoba melakukan komunikasi dengan Dewi Lanjar selaku Pangemong Pantai Utara Jawa. Angin tidak berhembus sama sekali. Saat itu pula berhasil diabadikan keberadaan Dewi Lanjar dalam bentuk orbs.
Malam pun tiba, saatnya sarasehan pertama kami. Sarasehan dengan sesepuh Padepokan Ki Ageng Bahurekso Pekalongan, Mbah Walari, seseorang yang sudah berusia 82 tahun, namun terlihat segar bugar, masih mampu melihat dengan jelas dan berbicara dengan fasih. Selain Mbah Walari, kamipun ditemani oleh Bapak Ashali Nuryadi ? (orang tua Mas Edy) beserta Bapak Rudi Sunarto (Pakde dari Mas Edy).
Beliau menjelaskan kecintaannya terhadap NKRI dan Pancasila. Kami beruntung dapat memperoleh tambahan informasi mengenai kedua hal tersebut. Betapa pentingnya kedua hal tersebut kita jaga bersama-sama selain sebagai warisan leluhur namun juga sebagai bekal bagi keturunan kita.
Sekitar Pukul 21, Pak Drajat undur diri untuk kembali ke Pemalang dan Sarasehan pun berakhir kira-kira sekitar jam 22 – 22.30. Selesai sarasehan kami ber-belanja batik ria didampingi Mas Edy. Mas Edy jadi penjualnya hehe… Puas berbelanja di Warung Batik Mas Edy, kamipun melanjutkan kegiatan meditasi bersama di suatu sekolah.beristirahat menanti pagi.
Oh iya, Mas Edy juga memperkenalkan kisah seseorang yang bernama Sabar Bejo Selamet, yang berasal dari Pekalongan. Seseorang yang dirasakan “cukup aneh” bagi masyarakat sekitar.
Hari Kedua, 23 April 2011
Batu Lingga
Pukul 4.30 kami sudah mulai bersiap-siap, sarapan pagi pun sudah disiapkan oleh Mas Edy. Tujuan pertama-nya adalah Desa Linggo Asri yang terletak di Bukit Lingga, masih di daerah Pekalongan juga. Di desa tersebut kami mendapatkan kabar adanya Batu Lingga. Bertemu dengan Pak Waris selaku ahli waris batu lingga. Perjalanan kami ini juga didampingi oleh Mas Edy.
Berdasarkan keterangan dari Pak Waris, para peneliti yang melihat batu tersebut berkesimpulan bahwa batu tersebut sudah ada sejak 400 tahun sebelum masehi. Hal ini diperkuat dengan semacam tulisan hieroglyph yang ada pada puncak batu.
Berdasarkan temuan yang kami peroleh, batu tersebut bukanlah batu lingga dalam artian sesungguhnya melainkan merupakan pecahan dari suatu bangunan besar, karena banyaknya sebaran batu sejenis di sekitar lokasi tersebut. Selain itu bentuk batu yang miring dan segi enam, serta tidak ditemukannya yoni (yang merupakan pasangan dari lingga) turut memperkuat asumsi kami.
Selain berkunjung ke Batu Lingga kamijuga mengunjungi Pura Kalingga Satya Dharma yang lokasinya tidak jauh dari lokasi Batu Lingga. Pemangku Pura adalah Bapak Supardi. Lokasi Pura sekarang ini bukanlah lokasi sebenarnya. Sebelumnya lokasi Pura berada dalam kawasan wisata Bukit Lingga. Karena Pemerintah Daerah hendak menjadikan kawasan Bukit Lingga sebagai kawasan wisata, kemudian dipindahkan lokasi Pura ke tempat sekarang ini.
Jumlah umat hindu di Desa Linggo sekitar 70 KK dan selebihnya adalah Muslim. Saling menghormati dan selalu menjaga kerukunan membuat Desa Linggo terlihat harmonis.
Kawasan Dieng
Sekitar pukul 7 kami pun melanjutkan perjalanan ke Dieng. Kawasan Dieng yang luas menyebabkan tidak mungkin dapat mengunjungi keseluruhannya. Kampun hanya dapat mengunjungi situs Candi Arjuno dan Candi Setiaki. Kedua candi tersebut terletak pada Kabupaten Banjarnegara.
Di Dieng, kami mencoba merasakan energi-nya. Energi yang sesungguhnya besar. Dieng yang kebesaran sesungguhnya dapat disamakan dengan kemegahan Borobudur memiliki kesan yang sebaliknya. Hal ini karena candi-candi yang ada belum dapat direkonstruksi dengan utuh bahkan sebagian besar masih dalam bentuk bongkahan batu dan terkesan diabaikan.
Dari kedua candi tersebut, didapati adanya yoni namun lingga pada kedua candi tersebut sudah tidak ada. Usia Candi Setyaki diperkirakan setara dengan Candi Ijo di kawasan Candi Ratu Boko. Masih banyak rahasia terpendam tentang Candi-candi di Dieng. Ada kemungkinan pula, masih banyak rahasia terpendam baik di kawasan Dieng maupun sekitarnya, yang untuk saat ini masih belum saatnya untuk muncul.
Magelang
Akhirnya perjalanan pun dilanjutkan ke Magelang, tempat kediaman orang tua Mas Dodo. Hujan cukup deras menyambut kedatangan kami di Magelang. Acara di Magelang juga merupakan acara bebas. Sebagian beristirahat dan sebagian lagi berburu patung.
Keramahan orang tua Mas Dodo sangat mengesankan bagi kami. Di sini kami pun bertemu dengan Mas Topan dan Mas Guntur, para murid dari Yogyakarta, dan juga Mbak Nia, pendamping Mas Dodo.
Mas Topan dan Mas Guntur yang pada awal rencananya sudah memiliki banyak pertanyaan untuk dibagikan kepada kami, akhirnya malah tidak banyak bertanya… Mudah-mudahan pertanyaannya sudah terjawab dengan sendirinya. 🙂
Dalam peristirahatan kami pun, Mas Edy mengisinya dengan cerita-cerita baru, hingga kami pun lebih tertarik mendengarkan dibandingkan dengan beristirahat.
Semarang
Malam mulai menjelang, perjalanan pun dilanjutkan ke Semarang. Anggota perjalananpun ikut bertambah. Tujuan perjalanannya adalah Sarasehan bersama Grup Pecel. Sarasehan dilangsungkan di kantor Ibu Dewi. Tiba di Semarang kami dijemput oleh Mas Yudi.
Kembali kami diperlihatkan oleh sikap kekeluargaan yang kental. Keramahan dan sambutan yang diberikan begitu terasa, seolah olah kita semua sudah kenal cukup lama.
Sarasehan kali ini bersama dengan Grup Pecel. Suatu komunitas yang memiliki ketertarikan terhadap pendakian spiritual. Umumnya setiap sarasehan di Grup Pecel turut mengundang pembicara tamu. Kali ini Gantharwa mendapat kehormatan itu. Sebelumnya pun Mas David pernah melakukan sarasehan bersama Grup Pecel.
Dari Grup Pecel yang hadir dalam sarasehan tersebut adalah Ibu Dewi, Mas Hendra, Mas Yudi beserta si kembar, Mbak Nina, Mbak Luki, Mas Hari dan tentunya Bapak Medi. Sementara dari Gantharwa berjumlah 12 orang, ditambah lagi dengan kedatangan Kadang Gantharwa dari Semarang yaitu Mas Adjie dan Mbak Vivi.
Awal sarasehan, dibuka dengan sambutan dari Mas Yudi yang menekankan bahwa sarasehan diadakan dalam arti sebagai kejawaan, jiwanya jiwa jawa yang berarti saling menerima atau terbuka. Selain itu pula terdapat simbol bumi, berupa hasil bumi yang ditempatkan dalam satu tampah, yang memiliki makna. Maknanya kemudian dijelaskan oleh Mas Yudi:
– Singkong, Ketela dan Kacang, hasil bumi yang terpendam dan kemudian terlahirkan, menandakan bahwa roso (pemahaman) yang tersembunyi menjadi terbuka
– Pisang, simbol eratnya rasa persaudaraan
– Talas, dimaksudkan tidak perlu dibalas
– Wadahnya yaitu Tampah, berarti semoga semua laku yang dijalankan dapat diterima.
Sarasehan kemudian dilanjutkan untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Perkenalan tentang motivasi terhadap nilai-nilai spiritual dan pengalamannya sejauh ini, pada kadang pun tak luput untuk menceritakan pengalamannya mengapa memilih belajar di Gantharwa.
Sarasehan berkembang menjadi suatu diskusi yang menarik, dimulai dari pengenalan tentang arti Gantharwa yang berasal dari kata Genther dan Dawa, bagaimana menjadi galah yang panjang. Apa fungsi perjalanan spiritual, berkunjung ke tempat-tempat spiritual yang tiada lain bisa dianggap sebagai supir, sebagai pengantar dan penjemput. Semoga yang diantar maupun yang dijemput memperoleh cahaya yang semakin terang
Selain itu, dijelaskan pula oleh Mas David, setiap pertemuan formal Gantharwa biasanya terdapat menu:
– Ketan, yang berarti mempererat persaudaraan
– Pisang, yang berarti menjadi manusia harus bisa menghasilkan, bisa anak atau murid, murid dalam artian luas, yaitu meng-estafetkan kawruh yang telah diperolehnya.
– Umbi-umbian, sebagai pengingat akan sari pati bumi/ibu pertiwi, dimana bumi dipijak.
Perjalanan kami pada hari pertama dan juga sebelum ke semarang tak urung juga di-sharing dalam sarasehan ini. Seperti kerusakan yang dialami pada Batu Lingga, pada akhirnya menimbulkan pembangunan kawasan Dieng. Dieng yang seyogyanya dapat lebih besar dari Borobudur, hanya sayang pada saat ini masih terkesan diabaikan walaupun kondisinya dalam perawatan.
Mas Edy pun turut serta membagikan sharing ketika di Batu Lingga, sudah saatnya tempat-tempat spiritual yang menjadi poros spiritual menjadi jaya kembali.
Pada saat sarasehan pun diadakan pemutaran film Meditasi. Selanjutnya dijelaskan pula oleh Mas David mengenai meditasi, terutama berdasarkan pengertian dari Gantharwa.
Malam sudah semakin larut waktu sudah menunjukkan hampir pukul 2, sayang sekali sarasehan dicukupkan waktunya, karena kami masih memiliki agenda kunjungan. Kamipun kemudian melanjutkan perjalanan.
Rumah Mas Adjie dan Mbak Vivi
Awalnya sebelum melanjutkan perjalanan ke kediaman Mas Adjie, tempat yang ingin kami kunjungi adalah Lawang Sewu, namun sampai di sana ternyata sudah dalam keadaan tertutup, ternyata ada batas waktu kunjungan. Sayang kami belum dapat menggali lebih dalam mengenai Lawang Sewu.
Kami pun kemudian singgah di rumah Mas Adjie, berbagi cerita dan mendengarkan kisah Mas Adjie, karena sudah lama tidak terdengar kabar dari beliau. Hingga pagi menjelang, kamipun memutuskan berangkat ke tempat tujuan terakhir.
Goa Maria Kerep
Alkisah, ditempat tersebut pernah terlihat penampakan sosok Bunda Maria, hingga akhirnya dibuatlah tempat peribadatan Goa Maria Kerep. Tempat yang sekarang sudah sangat rapi dan besar dibandingkan pada awal mula berdirinya. Goa Maria Kerep terletak di Ambarawa.
Ada sumber mata air di sini. Setelah menikmati keheningan ketika tiba di sana, kamipun melanjutkan dengan meditasi hingga jam 6. Menghaturkan terima kasih atas kenikmatan perjalanan wisata spiritual yang telah kami tempuh. Menghaturkan terima kasih kepada para saudara-sadara kami yang telah kami temui sepanjang perjalanan kami. Merenungi manfaat dan melepas kerinduan terhadap tempat-tempat yang senantiasa membangkitkan gairah spiritual kami.
Besar harapan kami, semoga perjalanan seperti ini akan tetap berlangsung ke depannya, bahkan akan semakin banyak mengajak para kadang yang lain, dan semakin banyak juga saudara-saudara kami yang dapat dijumpai.
Akhir kata, kami menghaturkan terima kasih sedalam-dalamnya atas segala kenikmatan yang telah diberikan kepada kami sepanjang perjalanan wisata spiritual dari tanggal 21 – 24 April 2011. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada:
a. Bapak Imam Sudrajat, yang telah berkenan menerima dan menemani kami mulai dari Pemalang hingga Pekalongan, juga selalu memantau keberadaan kami
b. Mas Edy Pekalongan, yang menemani kami sejak Pekalongan hingga berakhirnya wisata spiritual ini. Tentu dengan gaya khas sendiko-nya…
c. Mbah Walari dan Keluarga Besar Mas Edy, yang telah berkenan sharing mengenai Padepokan Ki Ageng Bahurekso Pekalongan
d. Mas Dodo dan Keluarga serta Mbak Nia, yang telah berkenan menerima kami dalam peristirahatan di Magelang dan berburu patung.
e. Ibu Dewi, Mas Hendra, Mas Yudi, Mbak Nina, Bapak Medy, Mas Hari dalam komunitas Grup Pecel, yang telah berkenan menerima kami di Semarang dan untuk sarasehan yang diadakan.
f. Mas Adjie dan Mbak Vivi, yang telah berkenan menerima persinggahan kami.
g. Mas Gogod, atas dukungan transportasi dan lain-lainnya.
Tak lupa pula kami mohon maaf jika terjadi kesalahan penulisan nama, maupun jika ada kata-kata kami yang kurang sesuai.
Terima kasih,
Rahayu,
Salam Sejati