Tiiiiing
Oleh: Kadang Nata Warga
Mau dibilang mati juga tidak, tapi berada dalam alam yang cukup asing…
Pada awalnya melihat bumi dari kejauhan, setengah bulat saja..
wow.. getar getir juga.. saya tak mau melihat.. tak sadar atau otomatis seolah-olah menutup kelopak mata untuk tak melihat..
secepat itu kok terasa saya seperti jatuh kebawah dan pandangan bayangan seperti tutup maka makin lama makin terang, seperti ada lampu mobil menyorot ke mata saya dari jauh terus mendekat…
penasaran dan rasa penasaran ingin tahu, mencoba melihat.. ternyata saya telah berada di suatu tempat yang mana warna terang sekali seperti api las listrik namun saya tak silau atau tak merasa sakit matanya.. bukan terang putih, tapi terang jernih seperti air raksa yang jelas terlihat semua dengan terang.. semuanya indah, tidak ada bedanya jauh maupun dekat.. saya tidak berada di tengah maupun berada di pojok ataupun berada di atas dan bawah.. tapi saya berada seperti dalam keadaan ruang tertentu…
“ngapain nih.. kagak jelas, tempat mana nih?” gak ada siapa-siapa disana, gak jelas mau ngapain… tidak merasa khawatir, juga tidak merasa senang, yang ada hanya seperti perasaan saat tidur nyenyak… tidak merasa apa-apa… berucap dalam hati: apa kalau saya tutup mata maka akan berubah lagi? baru berucap otomatis seolah-olah menutup mata, keadaan terang, tapi merasakan perpindahan keberadaan..
barulah sayup-sayup mendengar ada yang sedang berbicara, langsung otomatis seolah-olah membuka mata, kali ini saya melihat banyak orang berpakaian setengah, hanya kain putih saja yang menyekat tubuh mereka sampai setengah dada, rambutnya diikat jambul ke atas, mereka layaknya resi-resi dari bali, yang saya ingat waktu itu kayak Pak NA, hanya tidak berjanggut dan kumis, mereka bersih, terlihat usianya sama semua, tapi rasa mengatakan ada yang sudah tua dan muda, namun wajah mereka tanpak bersih tanpa keriput..
“kisanak, ada apa berkunjung?” tiba-tiba yang cukup tua menyapa.. (walau tak tanpak tua) – bahasa yang dipakai bukan yang saya kenal, tapi saya mengerti dengan melihat kearah bibirnya saat berbicara.
eh… gak tahu, sahut saya polos… (tentu saya pakai bahasa Indonesia )
“lho kok tidak tahu?” terasa dia berucap bijak.. “bukankah ini yang kisanak mau?”, sambungnya..
emm… yang saya mau? rasanya saya tidak mau apa-apa? jawab saya agak pede.. (biasa anak muda )
“ini jawaban yang sudah sekian dimensi waktu belum pernah terdengar, banyak yang sampai tempat ini karena memang cita-cita dan tujuan mereka, apakah ini bukan tujuan kisanak”?
saya balik bertanya: apakah ini tempatnya?
langsung dijawab: “bukan!, ini bukan tempatnya”
kalau demikian, saya hanya mampir minum saja – saya langsung menambahkan sambil menepuk bahunya.
dan dia tersenyum sambil mengajak bersila dengan merangkul bahu saya juga dan diikuti yang lain mendekat duduk berkeliling… terasa lantainya bukan keramik, bukan tanah, bukan bahan padat, tapi terasa padat, layaknya seperti angin..
“Mari kisanak…” sambil di sambut bijak
Maaf, apakah setiap insan pasti lewat sini? saya memulai bertanya dengan harapan diberikan pemaparan..
terasa badan di goncang… saya tersadarkan oleh istri… “pi…pi…pi… ini hampir jam 6 untuk doa pager, tidur apa meditasi sih?”
ti… ti…ti..ti ti ti.. pas jam 6 pagi, saatnya doa pager..
Beranjak dari tempat dan setelah doa pager, tidak ingat apa yang terjadi, lalu lelap tidur sampai jam 8 pagi, bangun lalu melakukan aktifitas dengan berangkat kerja..
Hampir setengah hari saya tidak mengingat apa-apa tentang kejadian semalam, menganggap seperti pengalaman yang stabil dan statis saja yaitu Hening, sampai pada akhirnya, sewaktu siang, memori atau ingatan pelan-pelan kembali tentang yang saya alami, semua cerita tiba-tiba menyatu dengan pelan-pelan secara bertahap, sampai akhirnya bisa menulis seperti ini. “celaka, belum selesai rupanya?”. Nanti malam lakukan lagi : perasaan berkata di hati.
Singkatnya malam setelah dianggap dan RASA mengatakan sebagaian telah terlelap, saya memulainya lagi.
Diam tidak melakukan gerakan dan napas seperti biasa… Mulailah 1 persatu persatu lubang tertutup. Sampai terakhir hanya ada rasa sesosok badan sedang bernapas wajar, bukan saya tapi adalah saya wadah fisik.
Brrriiiaaaar… pandangan kembali kesekeliling yang tempat persis kemarin.
“Kisanak, telah kembali?” Selamat datang lagi”, kata si bijak (saya menyebutnya untuk identifikasi saja).
Pada posisi ternyata kami masih duduk persis seperti kemarin, namun kelihatanya bertambah jumlahnya, duduknya bersila dan melingkar seperti perlipat gandaan di tengah saya dan si bijak, lalu ada 4 orang yang lain selanjutnya 8, lalu 16, dst, saya tidak menghitung, tapi RASA saya mengatakan demikian, dan seperti bentuk teratai (jadi ingat Borobudur dari atas dilihat.
“Saya minta maaf, karena urusan raga membuat saya menjadi kurang sopan”; saya menatap hampir kesemuanya dimulai dari si bijak..
“Tidak apa-apa, jangan di Rasa, kisanak” si bijak bersenyum padaku.
Tanpa menunggu, dia menjawab pertanyaan saya yang sebelumnya dengan penuh tajam, dalam sebuah rangkaian syair dalam bahasa mereka yang di tangkap oleh saya dalam syair bahasa saya;
“Hyang Rasa Terpancarkan
Yang malang tak berpeluang
Yang baik tak menghilang
Kenangan hanya hembusan”
“Semua adalah Insan
Mana yang MAU cemerlang
Akan menemukan kegembiraan
Akan sampai pada Tatanan”
“Hantar diri kepada Kebaikan
Jangan risau setiap jalan
Patutlah menjaga kedalam
Pancaran diri akan gemilang”
Kisanak sudah paham tentunya.. Jawabnya selesai menjelaskan dengan syair tentang pertanyaan saya.
“Terima kasih atas hidangan teh nya”, saya melihat senyum yang terpancar dari mereka, menandakan mereka mengerti yang saya maksud..
“Kisanak, mau saya antar ke pancaran yang lainnya” si bijak mengajak saya (ternyata saya tidak salah, pancaran yang dimaksud adalah tempat yang saya Tanya)
“Matur Suwun”; saya menjawab dengan gaya Jawa, maklum bawa nama Jawa euy.. (Terutama Gantharwa)
“Pada sejatinyalah, bahwa setiap insan akan hadir pada diri insan yang lainnya, antara pancaran dan yang lainnya selalu saling menyatu dan menghimpun menjadi satu, tapi ingatlah bahwa pantulan akan menjadikan duka yang dalam” sambil beranjak berdiri, si bijak berwejang tanpa saya Tanya, dan mengerti yang saya butuhkan. Sementara yang lain tidak ikut berdiri.
“Mari Kisanak”, sambil menepuk bahu, kemudian brrriiaarrr… dan terdengar suarang denging… Tiiiiiiiiiiinnngggg……….
Ti..ti…ti..ti..ti..ti.. tersadarkan oleh alarm jam 6 pagi: saatnya doa pager..
Wah.. ternyata udah jam 6, tak terasa, tapi saya sepertinya tidak mengalami apa-apa kecuali hening, terpikir oleh saya setelah menyelesaikan Doa Pager. Namun sekilas juga ingat, jangan-jangan saya tidak ingat lagi yang menjadi kejadian seperti kemarin.. mungkin pikiran nanti akan kembali merekam yang terjadi saat meditasi.
Tanpa pikir panjang saya langsung tidur, mengingat 3 jam lagi harus aktifitas…
Pada pertengahan hari, saya melihat seolah-olah slide film yang saya alami di pikiran saya, ternyata rekaman ingatan pikiran masuk, seplah-olah pikiran diceritakan tentang apa yang terjadi, sehingga saya bisa becerita seperti diatas tadi.
Singkat cerita, rutinitas meditasi saya kembali lagi membawa saya kembali melanjutkan petualangan mengasa kawruh, walau saat ini saya bisa ceritakan, namun sebenarnya setelah mengalami setengah hari baru bisa teringat kembali.
Berikut adalah pengalaman selanjutnya:
Tiiiiinnnggg….. degingan panjang dan tinggi tapi tidak memekakan telinga, pada saat seolah mata membuka maka terlihat bahwa sekarang di suatu suasana/tempat/lingkungan/keadaan semuanya adalah warna emas yang silau, tapi tidak menyilaukan bagi mata. Tempat di hadapan saya ternyata bukan lagi si bijak, tapi sudah pribadi yang lain.
“Salam Anaknya Sampoerna”, dia langsung menyapa, wah saya kaget, pribadi ini mengenal saya? Bertanya dalam hati saya, dan dia kelihatanya jauh lebih tua usianya dari si bijak namun tetap paras muda, dan seluruh tubuhnya adalah tubuh cahaya berwarna perak silau, persis diruang yang saya tinggalkan bersama si bijak, saya juga langsung memahami siapa yang ada dihadapan saya, tidak perlu perkenalan, namun sudah salung mengenal, kali ini bahasa yang di gunakan berbeda lagi, tapi saya dapat mengerti dalam bahasa Indonesia.
“Tentu saya mengenalmu dan juga Gurumu”. Dia menyambung…
“Dhanyang luhur nan agung, sudi bisa memberikan anakmu ini secerca Kesejatian untuk Sejati ning Urip” saya berkata dengan sopan, menjadikan saya ingat saat bertanya serius kepada Kyai Tunggul Jaya Among Rogo, pada saat pertama di perkenalkan oleh Guru.
Dhanyang tersebut menjawab:
“Kadangku Ananknya Sampoerna,
apa yang engkau dapat dari pancaran sebelumnya telah cukup bagimu,
apa yang engkau saksikan telah bisa engkau gali sendiri,
antara engkau, dia (sibijak), dan aku telah banyak cerca yang terurai,
ada saatnya datang, dan akan selalu berada didalam, dan akan menjadi milikmu”
“Dhanyang luhurku, terima kasih telah berbagi, ijinkan Kadangmu ini tinggal sebentar dan ditemani”, saya langsung menambahkan setelah paham..
“Kadangku Anaknya Sampoerna memang sudah saatnya, mari banyak yang harus di saksikan sendiri”, beliau langsung mengajak saya.
Tiiiiiiiiinnnnng….. TAMAT
Maaf, tulisan ini telah di edit bagian awal proses meditasi, bagian tengah, dan bagian akhir tidak di ceritakan, hanya untuk penulis yang belum siap saya bagikan.
Terima Kasih Salam Sejati.
Jakarta, 2008